OPINI (Lentera) -Publik pun bertanya-tanya: 'Bukankah Anda yang punya kunci lift, wewenang memecat office boy nakal, dan kamera CCTV? Atau... ada yang sengaja mematikan alarm kebakaran?'
Bayangkan ini: Anda diangkat menjadi Manajer Umum Gedung Pencakar Langit. Lalu Anda mengadakan konferensi pers untuk mengeluh: "Sulit sekali membersihkan sampah di lantai 50. Medannya curam, dan ada banyak sekali pihak yang dengan sengaja terus membuang sampah sembarangan di sana!"
Publik pun bertanya-tanya: "Bukankah Anda yang punya kunci lift, wewenang memecat office boy nakal, dan kamera CCTV? Atau... ada yang sengaja mematikan alarm kebakaran?"
Agak naif, bukan? Tapi begitulah sensasi mendengar keluhan tentang 'kepentingan kuat' dari orang yang sejatinya memegang kepentingan terkuat di negeri ini."
Presiden Prabowo Subianto secara gamblang mengakui sulitnya tugas Satgas PKH. Tantangan datang dari dua front: medan alam yang berat dan medan kepentingan manusia yang berusaha mempertahankan penguasaan ilegal.
Pernyataan Presiden direspon cepat bernada tegas oleh Susi Pudjiastuti. Mantan Menter Perikanan dan Kelautan ini segera mengingatkan bahwa Presiden memiliki wewenang kuat untuk bertindak.
Dua sudut pandang ini bukanlah pertentangan, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama: kesenjangan antara wewenang formal dan realitas di lapangan.
Publik mulai bertanya-tanya: Mengapa tugas penertiban hutan begitu kompleks dan apa yang dapat dipelajari dari dialog singkat ini.
Tengkulak
Tantangan medan—hutan lebat, topografi sulit, akses terbatas—bukan hal sepele. Ini membatasi mobilitas, pengawasan, dan efektivitas operasi. Namun, ini hanyalah lapisan pertama.
Pernyataan Presiden tentang "berbagai kepentingan" patut digarisbawahi. Di balik penguasaan ilegal sering kali ada struktur ekonomi dan sosial yang mapan: mulai dari oknum pengusaha, tengkulak, hingga masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya (atau dimanfaatkan) dalam sistem ini. Ini adalah ekosistem ilegalitas yang tahan banting.
Banyak konflik bermula dari tumpang tindih klaim, ketidakjelasan batas, serta sejarah pemanfaatan lahan oleh masyarakat adat atau setempat yang tidak diakui. Satgas PKH tidak hanya berhadapan dengan "penjahat" jelas, tapi sering terjebak dalam konflik tenurial yang abu-abu.
Respon Susi Pudjiastuti menyentuh titik penting governance: akuntabilitas puncak. Wewenang kuat yang dimaksud mencakup kapasitas koordinasi. Artinya, memastikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), TNI, Polri, pemerintah daerah, dan instansi terkini bekerja dalam satu komando yang solid, bukan saling melempar tanggung jawab.
Wewenang untuk memastikan proses hukum berjalan terhadap semua pelaku. Tak peduli seberapa besar kekuatan ekonominya atau seberapa "liat" perlindungan politiknya.
Tentu saja perlu segera mengatasi akar masalahnya. Seperti tata kelola perizinan, transparansi data, dan penyelesaian konflik tenurial, membutuhkan keputusan politik tingkat tinggi.
Kelemahan
Mari kita lihat masalahnya.
Pengakuan Presiden tentang adanya tantangan menyiratkan perlunya konsolidasi wewenang. Ini menyiratkan pengakuan adanya kelemahan kelembagaan dan apa yang diperlukan untuk membuat wewenang itu efektif di lapangan.
Pertanyaan yang menantang: "Wewenang Kuat itu untuk Siapa? Artinya kita perlu membongkar hierarki kepentingan di balik penguasaan hutan ilegal." Kita perlu memetakan aktor-aktor yang disebut "berbagai kepentingan" oleh Presiden.
Dialog Prabowo-Susi ini merefleksikan jantung dari banyak masalah governance di Indonesia: pengakuan akan kompleksitas di satu sisi, dan tuntutan untuk kepemimpinan tegas di sisi lain. Tantangan sebenarnya adalah menjembatani keduanya.
Penertiban hutan yang berkelanjutan membutuhkan lebih dari sekadar operasi penindakan. Ia memerlukan strategi triadik: (1) penegakan hukum yang konsisten dan berwibawa terhadap aktor inti perusak, (2) penyelesaian konflik tenurial secara adil untuk memangkas sumber konflik, dan (3) penciptaan alternatif ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan agar tidak terjebak dalam jerat ilegalitas.
Bagaimanapun kita bisa melihat bahwa pernyataan Presiden sebagai pengakuan yang jujur, dan respon Susi adalah pengingat yang perlu. Momentum ini harus ditangkap untuk melangkah dari pengakuan tantangan menuju aksi terkoordinasi dan berlevel.
Presiden memang punya wewenang kuat, dan wewenang itu kini diuji untuk membongkar tidak hanya enceng gondok di sungai, tapi juga jaringan akar rotan yang telah lama membelit kedaulatan hutan kita.
Mungkin yang kita butuhkan bukan keluhan, tapi daftar nama dari 'kepentingan-kepentingan' itu. Siapa tahu kita, publik, bisa bantu doakan agar mereka segera mendapat pencerahan.
Sejujurnya rakyat pingin berujar bahwa keluhan Presiden tentang sulitnya menertibkan hutan karena 'kepentingan-kepentingan' yang kuat, mirip seperti seorang kapten kapal yang mengeluh tentang betapa garangnya lautan dan betapa bandelnya awaknya yang menolak mematuhi perintah.
Lucunya, sang kapten lupa bahwa di tangannyalah kemudi kapal itu berada. Mungkin kita perlu mengingatkan beliau bahwa laut bisa ditembus dengan peluru kendali, dan awak kapal yang membangkang bisa dikenai sanksi.
Atau mungkin, seperti kata Mbak Susi dengan gaya khasnya: "Masa iya sih, Presiden?"
Penulis: Zainal Arifin Emka, Wartawan Tua, Pengajar Stikosa-AWS|Editor: Arifin BH





.jpg)
