26 November 2025

Get In Touch

Anak Tahan Perundungan

OPINI (Lentera) -Kasus bullying masih mengkhawatirkan hingga sekarang. Sepanjang 2025 saja, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat setidaknya 25 anak dilaporkan bunuh diri.

Sedihnya, sebagian besar kematian ini diduga terkait dengan bullying atau perundungan. Bullying mungkin tidak akan pernah hilang sepenuhnya dari kehidupan sosial anak-anak.

Kalau begitu, bukankah sudah semestinya mempersiapkan anak untuk bersiap menghadapi perundungan. Langkah ini untuk membentuk karakter yang tetap utuh meski diterpa badai. 

Kita tidak bisa menjamin hidup mereka bebas dari kekasaran dunia. Kita hanya ingin memastikan mereka tidak datang ke dunia sosial dengan tangan kosong. Mereka membawa nilai, keberanian, dan ketahanan untuk menjaga diri—tanpa harus kehilangan empatinya kepada sesama. 

Bullying memang tidak akan pernah hilang sepenuhnya dari kehidupan anak-anak. Bahkan ketika sekolah sudah memperkuat tata tertib, orang tua memperketat pengawasan, dan masyarakat semakin sadar bahaya kekerasan psikologis. Faktanya, selalu ada celah tempat bullying atau perundungan tumbuh. 

Karena itu, selain menciptakan lingkungan yang aman, kita juga perlu menyiapkan anak agar memiliki ketahanan menghadapi situasi buruk ini. Ini bukan berarti menormalisasi perundungan, tapi membekali anak dengan kekuatan batin agar tidak runtuh ketika menghadapi perundungan.

Nilai Diri

Ketahanan utama yang perlu dimiliki anak adalah kemampuan mengenali nilai dirinya. Anak yang memahami bahwa dirinya berharga tidak mudah diguncang oleh ejekan atau penolakan sosial. 

Dasarnya bukan sekadar pujian dangkal, tapi penerimaan diri: memahami kelebihan dan kekurangan, menerima perbedaan, serta menyadari bahwa martabat manusia tidak ditentukan oleh komentar orang lain.

Anak yang punya rasa diri yang utuh akan lebih sulit dipatahkan oleh kata-kata menyakitkan. Anak perlu dibekali kemampuan mengelola emosi.

Banyak kasus bullying memburuk karena korban tidak tahu apa yang ia rasakan. Ia marah, tapi takut mengekspresikan. Ia sedih, tapi tidak punya kosakata untuk menjelaskan. Ia takut, tapi memilih diam. 

Mengajarkan anak menamai emosinya—marah, kecewa, malu, takut—adalah langkah awal untuk membangun regulasi emosi. Anak belajar berhenti sejenak, menenangkan diri, lalu merespons dengan cara yang sehat. Di sinilah ketahanan batin dibentuk: bukan dengan menekan emosi, tapi dengan memahaminya.

Menurut pemerhati pendidikan, penting mengajarkan assertiveness, kemampuan bersuara tegas tanpa agresif. Banyak anak sebenarnya ingin mengatakan “berhenti”, tapi takut ditertawakan. 

Ilustrasi pencegahan bulying (GettyImage)
Ilustrasi pencegahan bulying (GettyImage)

Dengan latihan sederhana seperti memberi contoh kalimat tegas, anak belajar menetapkan batas. “Saya tidak nyaman diperlakukan begitu.” “Tolong hentikan.” Sering kali pelaku berhenti ketika menyadari targetnya tidak pasif. Assertiveness bukan bentuk perlawanan fisik, melainkan kejelasan sikap yang memperkuat martabat.

Pertemanan Sehat

Anak sebaiknya dididik pentingnya memiliki jaringan pertemanan yang sehat. Satu teman yang mendukung jauh lebih kuat daripada sepuluh orang yang merundung. Teman yang baik menjadi penyangga psikologis dan mengurangi rasa kesepian.

Karena itu, orang tua perlu mendorong anak memilih lingkungan yang menghargai. Bukan memaksakan diri masuk ke kelompok yang toxic. Ketahanan sosial dibangun dari siapa yang berdiri di sisi kita. Faktanya, banyak korban bullying menderita lebih lama karena merasa melapor adalah tanda kelemahan.

Tugas orang dewasa adalah membuat pelaporan terasa aman dan terhormat. Anak perlu mengerti bahwa meminta pertolongan adalah bentuk keberanian moral, bukan pengakuan kalah. Orang dewasa yang responsif membuat anak merasa tidak sendirian.

Di sini terasa pentingnya mengajari anak untuk tahu kapan dan bagaimana meminta bantuan.

Ejekan memang menyakitkan. Tapi yang lebih berbahaya adalah cerita yang berkembang di kepala anak: “Aku memang jelek… aku tidak disukai… aku selalu salah.”

Orang tua dan guru dapat membantu mengubah narasi itu menjadi lebih sehat. Dari “Aku korban” menjadi “Aku sedang menghadapi situasi sulit yang bisa diselesaikan.” 

Artinya, penting mengajarkan pada anak bagaimana membangun narasi yang sehat tentang dirinya. Ketahanan batin lahir dari kemampuan memberi makna baru pada pengalaman pahit. Bekali anak keterampilan sosial praktis.

Apa itu? Menggunakan humor sehat untuk meredakan ketegangan, meninggalkan situasi tanpa merasa kalah, dan membaca dinamika kelompok. Ini bukan mengajari mereka untuk membalas, tapi mempersenjatai mereka dengan strategi bertahan yang cerdas dan damai.

Figur Dewasa

Saya ingin mengakhiri naskah ini dengan mengatakan: semua ketahanan itu akan rapuh jika tidak ada figur dewasa yang hadir. Anak yang memiliki satu saja orang dewasa yang mendukung—orang tua, guru, kakek, atau paman—akan jauh lebih kuat menghadapi tekanan sosial. 

Tentu, kehadiran yang stabil, yang mendengarkan tanpa menghakimi, memberi rasa aman yang tidak tergantikan.

Kembali ke pembicraan awal. Pada akhirnya, mempersiapkan anak menghadapi perundungan bukan mencetak mereka menjadi manusia kebal. Ini membentuk karakter yang tetap utuh meski diterpa badai. 

Kita toh tidak bisa menjamin hidup mereka bebas dari kekasaran dunia. Tapi kita bisa memastikan mereka tidak datang ke dunia sosial dengan tangan kosong. Mereka membawa nilai, keberanian, dan ketahanan untuk menjaga diri—tanpa harus kehilangan empatinya kepada sesama. *

Penulis: Zainal Arifin Emka, Wartawan Tua, Pengajar Jurnalistik|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera.co.
Lentera.co.