
OPINI (Lentera) -Di usia ke-80 tahun dimanakah sebenarnya posisi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia (RRI) ?
Memilih "berkomunikasi" dengan 125 miliar pendahulu kita yang sudah berpulang meninggalkan jejak literasi, kekayaan intelektual, dan torehan sejarah, atau kepada sekitar 8 miliar warga bumi generasi medsos?
Atau bergelut di tengah lautan media asing, menimang-nimang Twitter, Instagram, Tik Tok dan ragam platform lainnya?
Selintas tampak dalam uraian pikiran kita, seakan-akan RRI yang dilahirkan pada 11 September 1945 ini, tersirat seperti satu titik dalam kerumunan konvergensi media digital yang umumnya berupa media sosial. Lupa pada kearifan 125 miliar "founding father" dan masa silam yang padat dan terhormat.
Inilah pertaruhan bernada skeptis yang sedang dihadapi RRI: teguh atau ikut terlindas oleh spirit di luar jati dirinya sebagai radio?
Sejak tahun 1942, negara adikuasa Amerika Serikat menempatkan Voice of America (VOA) sebagai hal yang urgen dan strategis untuk memuluskan misi diplomasi negaranya, melalui lebih dari 50 bahasa siaran internasional.
Memiliki ratusan koresponden dan jaringan stringer tersebar di seluruh dunia, stasiun-stasiun afiliasi penyiaran di ribuan kota, sehingga mampu mencapai lebih dari 93 juta pendengar radio di dunia -- sebelum akhirnya VOA dibekukan Presiden Donald Trump, sebagai dampak kebijakan efisiensi Amerika Serikat.
Bangkrutnya beberapa radio swasta di Indonesia, mundurnya siaran BBC berbahasa Indonesia (sejak Desember 2022), dibekukannya siaran VOA, masa-masa transisi ke dunia digital dan menyusutnya jumlah pendengar radio, menjadi orkestrasi opini beberapa pihak -- seakan-akan radio siaran sudah runtuh dari kegemaran publik.
Bahkan secara eksplisit ada penafsiran radikal bahwa RRI sedang memainkan peran besarnya : jumpalitan di ranah digital, di luar jati dirinya sebagai penyiaran radio. Tesis-tesis tersebut adalah mimpi buruk dan jalan yang menyesatkan.
Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, RRI memiliki mandat mendedikasikan dirinya bagi kepentingan negara. Mandat itu tidaklah dapat disandingkan dengan visi media komersial di Indonesia, apalagi jika dibandingkan dengan tugas-tugas BBC yang layanan siarannya hanya diarahkan untuk 70 juta jiwa penduduk Inggris, atau separuh jumlah penduduk pulau Jawa saja.
Maka pertarungan besar pertama: Sejatinya bagaimana RRI memulihkan public trust sehubungan jurnalisme siarannya dengan tetap mendahulukan verifikasi fakta, transparansi, obyektif, dan mematuhi etika jurnalistik itu sendiri.
Trust adalah mitraliur terpenting bagi RRI untuk membunuh berita-berita hoaks (fake news) yang belakangan semakin brutal dan berbahaya bagi kerukunan umat.
Pertarungan kedua: Bagaimana RRI meng-orkestrasi aneka ragam keberpihakan, menuju jati diri sesungguhnya, seperti :
Bagaimana RRI berpihak pada tumbuh suburnya kearifan lokal, soal-soal pengentasan kemiskinan dan upaya-upaya pengurangan gelombang pengangguran. Juga seputar kasus-kasus stunting, kesenjangan sosial di perbatasan, disabilitas serta keterbelakangan pendidikan anak yang jauh dari pendidikan formal, perlindungan anak dan perempuan.
Tak kalah penting, perlunya perhatian khusus bagi pencerahan masyarakat tertinggal.
Selanjutnya, berkomitmen dengan konten siaran yang berisikan narasi-narasi kebangsaan, memperkuat kesadaran terhadap kebhinekaan. Bahkan siaran RRI hendaknya mampu menumbuhkan keteduhan dan rasa toleran di antara sesama bangsa.
Negara harus hadir di semua lapisan masyarakat. Jika negara tidak hadir, maka representasi dari kehadiran negara adalah Radio Republik Indonesia.
RRI harus menjamin kehadiran siarannya di seluruh pelosok desa sebagai anak panah pencerdasan bangsa.
Begitulah sebenarnya pikiran berenergi positif yang harus digulirkan RRI hari per hari dengan segala keberpihakannya.
Berhentilah menghitung angka-angka algoritma digital. Adalah pekerjaan sia-sia yang tidak memiliki korelasi langsung dengan mandat negara agar RRI tegak lurus dengan jati dirinya sebagai radio siaran.
Rakyat di pelosok-pelosok desa; nelayan di laut lepas; kelompok-kelompok minoritas, misalnya suku Badui, rakyat Simeulue di bibir Samudra Hindia; dan banyak lagi -- tentu rindu akan kehadiran RRI.
"Di situlah sejatimu yang harus kau rawat dengan sesungguhnya, " begitu setidaknya bahasa masyarakat yang seharusnya dijalani RRI.
Selamat ulang tahun ke-80 Radio Republik Indonesia. Bangkitlah !
Sebuah otokritik!
Penulis: Mohammad Rohanudin, Direktur Utama RRI 2016-2021 dan Dewan Pengawas RRI 2021-2026|Editor: Arifin BH