02 September 2025

Get In Touch

Mengulik Istilah "Non-Aktif" untuk Anggota DPR

Prof.Dr.Juanda, S.H., M.H, Guru Besar Hukum Tata Negara Esa Unggul Jakarta
Prof.Dr.Juanda, S.H., M.H, Guru Besar Hukum Tata Negara Esa Unggul Jakarta

SURABAYA (Lentera) -Meredam kekecewaan dan kemarahan rakyat Indonesia atas pernyataan dan sikap para anggota DPR yang dianggap merendahkan, melukai hati dan perasaan serta tidak peka terhadap aspirasi dan kondisi  rakyat Indonesia, para Ketua Umum dan Pimpinan dari beberapa Partai Politik yaitu Partai Amanat Nasional, Partai Nasdem dan Partai Golkar mengambil sikap “Menon-aktifkan”  anggota-anggotanya yaitu Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach (NASDEM), Eko Patrio dan Uya Kuya (PAN) dan Adies Kadir (GOLKAR) mulai terhitung 1 September 2025.

Jika diteliti di dalam UU No.17 Tahun 2014 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD dan UU perubahannya, ternyata dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 428, juga di dalam Tata Tertib DPR No.1 Tahun 2020 dari Pasal 1 sampai dengan 369, tidak ditemukan istilah “non-aktif” untuk anggota DPR, yang ada istilah  “Pemberhentian Antar waktu, Penggantian Antar waktu,dan Pemberhentian Sementara”.

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia makna “nonaktif /non·ak·tif/ a tidak menjalankan pekerjaan (tugas) lagi (sbg pegawai, pekerja, tentara) untuk sementara waktu. Dalam Pasal 239 ayat (1) UU MD3 dan Tata Tertib DPR, Anggota DPR berhenti antar waktu  karena; meninggal dunia, megundurkan diri atau diberhentikan. Pasal 239 ayat (2) Anggota DPR diberhentikan antar waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:

a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;

b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;

c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD;

f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;

g. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

h. menjadi anggota partai politik lain.

(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf h diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.

(2) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR wajib menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.

(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.

Selain itu, Menurut Prof Juanda, dalam Pasal 244  UU dan Tatib DPR dikenal juga istilah “Pemberhentian Sementara”. Pemberhentian Sementara, anggota DPR yang bersangkutan karena tersangkut kasus hukum dan statusnya sudah terdakwa. Anggota DPR yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.

Jika melihat faktanya, penonaktifkan 5 (lima) anggota DPR sebagaimana disebutkan di atas, lebih tepat didasarkan pada Pasal 239 ayat (2) huruf d yaitu  “diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”; oleh karena itu istilah “penonaktifkan” ke 5 anggota DPR itu tidak ditemukan landasan yuridisnya, tetapi lebih tepat disebut dengan istilah “diberhentikan Antar Waktu”.

Kalau istilah  “dinonaktifkan”, selain tidak ditemukan dalam UU dan Tatib DPR, juga secara yuridis normatif maknanya akan berbeda dengan makna “non-aktif”.

Non aktif artinya yang bersangkutan secara hukum masih tetap menjadi anggota DPR tetapi untuk sementara tidak aktif, tidak menjalankan tugas dan fungsinya sementara waktu, konsekuensi yuridisnya, di samping yang bersangkutan masih tetap berstatus anggota DPR dan berpotensi untuk tidak diberhentikan secara permanen atau depinitif, juga bisa bermakna ketika sudah reda kemarahan rakyat nanti maka yang bersangkutan kembali diaktifkan sebagai anggota DPR. Selain itu juga dalam masa  status “non-aktif” tersebut maka semua hak keuangannya masih tetap diterima.

Kalau mau merujuk pada ketentuan Peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka istilah yang tepat dan benar adalah” “diberhentikan antar waktu”, dengan alasan karena atas penilain Parpol yang bersangkutan tidak layak lagi menjadi anggota DPR karena telah tidak sesuai dengan komitmen dan perjuangan PARPOL yang bersangkutan yaitu mencederai dan tidak peka dengan aspirasi rakyat,  sehingga diusulkan partai politik untuk diberhentikan.

Berdasarkan Pasal 239 ayat (2) dan (3) UU MD3 dan Tata Tertib DPR, dengan mekanisme yang ada maka dalam waktu 21 hari kedepan sejak tanggal 1 September 2025, ke lima anggota DPR dimaksud sudah diberhentikan secara permanen dari anggota DPR melalui SK Presiden.Demikian Juanda mengakhiri pandangannya. Salam.

Penulis: Prof.Dr.Juanda, S.H., M.H, Guru Besar Hukum Tata Negara Esa Unggul Jakarta|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera.co.
Lentera.co.