
KOLOM (Lentera) -Hari Rabu tanggal 9 April 1997 rombongan Haji Plus Linda Jaya Surabaya berduka. Salah satu jamaahnya bernama Latief Pudjosakti pada pukul 20.15 waktu setempat, wafat karena komplikasi pernapasan. Almarhum dimakamkan di Ma'la, Makkah, hari Kamis, setelah sebelumnya disemayamkan di Masjidil Haram usai shalat Subuh.
Dokter Kabat selaku petugas kesehatan kloter Linda Jaya bersama saya, atas nama wartawan Surya dua hari sebelumnya masih sempat bertemu Latief dan istrinya keturunan Jepang, Kristin Yoko di kamar Hotel Hilton tempat mereka menginap.
Dokter kloter memberi wejangan kepada Latief agar sering-sering mengkonsumsi air atau buah apel supaya penyakit tenggorokan lekas pulih. Pak Latief abai, penyakit itu makin parah, lalu sempat tak sadarkan diri sampai akhirnya merenggut nyawanya. Dia mati sebelum puncak ibadah haji.
Di Surabaya pukul 00.15 dinihari. Redaktur piket malam Harian Surya menyetop mesin cetak. Uki. M. Kurdi selaku penanggungjawab meyakinkan akan kebenaran berita. Ini berita penting. Harus dibikin Stop Pres. Besoknya kabar duka menyebar.
Sebelumnya sudah dua hari informasi soal Latief Pudjosakti menjadi bahan berita laporan perjalanan haji.
Alhamdulillah ada tiga wartawan Harian Surya berangkat ke Tanah Suci pada musim Haji 1997, masing-masing: Basuki Subianto (meninggal dunia 4/2/2024), Asmanu dan saya
Pihak rumah sakit Tunzi, Makkah semula menolak kehadiran pengelola dari Linda Jaya, termasuk istri yang sedang berduka. Tak boleh masuk apalagi motret. Kebetulan saya lagi nenteng kamera (belum musim Hp).
Prof. Roem Rowi pembimbing PT Linda Jaya, dengan bahasa lembut meyakinkan petugas: Alamarhum ini seorang figur publik. Anggota DPR. Wajib dipublikasikan. Seketika kami bisa masuk. Bahkan saya disilakan mengambil foto. Momen ini jarang terjadi.
Latief Pudjosakti adalah Ketua DPD Partai Demokrasi Indonesia Jawa Timur (Jatim) yang tengah mendapat sorotan. Saat itu ada dualisme kepemimpinan DPD PDI Jatim.
Latief kepanjangan tangan PDI pimpinan Soerjadi, sementara kubu PDI DPD Jatim satunya diketuai Ir. Soetjipto dibawah pimpinan Megawati Soekarnoputri. Mantan bendahara DPD PDI Jawa Timur itu menjadi Ketua PDI Jawa Timur berdasarkan SK 043 dikeluarkan Megawati Soekarnoputri, menggantikan Latief Pudjosakti.
Kubu Latief yang 'berpihak' pada pemerintah Orde Baru menolak pengangkatan Soetjipto. Jadilah kepengurusan ganda DPD Jawa Timur.
Soetjipto yang berlatar "pekerja intelektual" ini sesungguhnya orang berpengaruh dalam sukses PDI Jawa Timur antara lain menambah kursi pada Pemilu 1992.
Latief Pudjosakti banyak disokong Gubernur Jawa Timur, saat itu dijabat H. Basofi Soedirman, sedangkan Ir. Soetjipto yang didukung akar rumput PDI, selalu diganjal. Maka wajar kemudian muncul istilah, Pak Tjip “dikuyo-kuyo” (teraniaya).
Situasi di Makkah makin ramai, karena seminggu lagi puncak ibadah Haji tiba. Kabar meninggalnya Pak Latief akhirnya memang cepat menyebar. Wartawan berbagai media baik dari Jakarta, dan Surabaya mulai berdatangan sekadar mencari informasi di Hotel Hilton tempat kloter Linda Jaya menginap.
Tetapi tidak semuanya bisa mencari kamar Kristin Yoko alias Ny. Latief Pudjosakti, kecuali beberapa petugas Linda Jaya.
Dari Surabaya saya mendapat pesan agar memantau situasi, karena ada kabar Ir. Soetjipto, juga berangkat menunaikan ibadah haji. Saya membolak-balik daftar peserta haji dari Maktour dan Tiga Utama termasuk biro perjalanan haji lainnya, tidak ada tercantum nama Soetjipto.
Diam-diam saya berharap ada keajaiban, sosok Ir. Soetjipto segera muncul, mumpung wartawan lain sudah pada pergi.
Dan, keajaiban itu benar terjadi. Siang hari menjelang waktu sholat Ashar, dari jauh tampak Ir. Soetjipto menggandeng isterinya mencari tahu keberadaan kamar Ny. Latief. Setengah berteriak saya bilang, “ikuti saya pak!”.
Selama dalam perjalanan menuju kamar Ny. Kristin Yoko, dari mulut Pak Tjip banyak cerita tentang pribadi Latief Pudjosakti. Isterinya, Soedjamik pun seolah tak ingin kalah bicara.
Lift hotel Hilton yang membawa kami menuju lantai 22 seakan-akan memberi kesempatan saya. Hampir tiap lantai lift berhenti, sehingga cerita sepasang suami isteri ini menjadi agak panjang. Banyak sisi lain yang terungkap dari hubungan dua politisi tersebut.
Soetjipto dan Latief Pudjosakti memiliki kesamaan ideologi partai, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Mereka sama-sama membangun partai. Sekali pun terjadi dualisme kepemimpinan PDI (belum menjadi PDIP) di Jawa Timur, tapi hubungan kekeluargaan kedua sosok itu tetap baik.
Sudah berulangkali terjadi demo dari masing-masing kubu, toh keduanya tetap santai. Bahkan pernah terjadi Latief Pudjosakti bentrok dengan aparat Kepolisian di Kota Malang, karena sebuah insiden, segera pula Soetjipto “pasang badan” mengupayakan agar Latief tidak ditahan.
Suatu hari Ny. Soedjamik (isteri Ir. Sutjipto) bersama Ny. Kristin Yoko pergi ke Pasar Atum, sebuah pusat perbelanjaan di Surabaya. Di tengah perjalanan mereka terhadang aksi unjuk rasa ratusan massa.
Ternyata itu orang-orang PDI dari kubu Soetjipto berdemo menghadapi kubunya Latief Pudjosakti. Anehnya, kedua kubu sangat hormat terhadap isteri para bos mereka. Malahan para demonstran ini memberikan jalan.
“Politik punya ring. Ibarat petarung tinju, semuanya harus berada di dalam ring. Di luar itu mereka tak pernah menyerang secara pribadi,” tutur Jagad Hariseno, putra tertua Pak Tjip.
"Andaikata di luar ring masih saling menyerang, itu namanya sama dengan menghancurkan ring (partai) itu sendiri," lanjut Jagad.
Latief Pudjosakti lahir di Ponorogo 10 September 1950 sedankan Ir. Soetjipto kelahiran Trenggalek, 13 Agustus 1945 (meninggal di Surabaya pada 24 November 2011) -tak ada yang beranimembantah, merupakan kader tokoh partai berlambang banteng.
Cara-cara berpolitik sangat santun, meniru apa yang dilakukan politikus para pendahulu dan pendiri bangsa ini. Mereka sudah memberi teladan baik, politik itu bisa “menang” atau “kalah”. Lebih dari itu masing-masing pihak punya rasa toleran serta membuka ruang saling kompromi.
Ingat cerita hubungan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai Presiden, sangat dinamis, bahkan kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus sahabat.
Pasang surut hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik pada saat itu. Bung Karno sekali tempo juga kurang harmonis dengan tokoh dari Nahdatul Ulama atau Muhammadiyah, tetapi sebatas di panggung politik. Selebihnya mereka suka bareng-bareng sarapan.
Jika para politikus saling menghormati, otomatis Bangsa ini terpandang dan disegani negara asing. Saya sudah merasakan kehormatan Bangsa ini dijunjung. Ketika jenazah Latief Pudjosakti berada di rumahsakit Tunzi (Makkah), tidak seorangpun diijinkan menjenguk, termasuk isteri almarhum. Pembimbing haji Prof.Dr. Reom Rowi dan petugas kesehatan dr. Yatna meyakinkan pihak rumahsakit, jika almarhum adalah tokoh politik dan figur ternama di Indonesia. Seketika itu kami boleh masuk. Bahkan saya boleh mengambil foto, dimana momen ini jarang terjadi.
Andaikata hubungan antara Pak Tjip dan Pak Latief diletakkan dalam prespektif situasi kekinian, sudah tentu urusan politik tidak berlarut-larut menjadi semacam "konflik" berkepanjangan. Kedewasaan politik dengan sendirinya bakal membungkam ambisi-ambisi kekuasaan.
Hidup itu misteri. Semua akan dijemput mati. Walau sedang haji di tanah suci. ONH Plus bukan jaminan lolos dari mati (*)
Penulis: Arifin BH, Pemimpin Redaksi Lentera