19 May 2025

Get In Touch

Laga Lawan China, Pertaruhan Garuda Menuju Mimpi Menantang Piala Dunia 2026

Pemain Timnas Indonesia. (foto:ist/dok.Ant)
Pemain Timnas Indonesia. (foto:ist/dok.Ant)

JAKARTA (Lentera) - Gemuruh ribuan pendukung Tim Nasional Garuda di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, seolah memantulkan kembali suara mimpi yang terkubur lama. Suara itu terisak dalam chantYo ayo Indonesia, Ku Ingin Kita Harus Menang” bukan hanya nyanyian biasa, tapi mantra pengobar semangat. 

Di sana lah, di tengah gegap sorak dan berkibarnya merah putih, Timnas Indonesia memulai lagi sesuatu lebih besar, bukan sekadar pertandingan sepak bola—mereka sedang memperjuangkan sebuah mimpi—tampil di Piala Dunia 2026.

Tak lagi hanya impian, kini jalan menuju kenyataan itu terbuka lebih lebar dari sebelumnya. Tim asuhan pelatih Patrick Kluivert ini telah melangkah mantap ke babak ketiga kualifikasi zona Asia. Bukan perkara mudah, tapi perjuangan disusun dengan kerja keras, disiplin, dan paling utama—kepercayaan diri baru. Epik Kebangkitan itu terlihat jelas.

Dulunya, hanya segelintir orang benar-benar percaya bahwa Timnas Indonesia akan menembus babak ketiga. Tapi sejarah, seperti biasa, berpihak pada mereka—tidak menyerah. Dimulai dari babak awal, Garuda berhasil menjinakkan lawan-lawan di grup sebelumnya—termasuk kemenangan emosional atas Vietnam yang menyudahi "kutukan" kekalahan bertahun-tahun.

Pertandingan demi pertandingan menunjukkan Timnas Indonesia tak lagi bermain dengan pola lama: bertahan dan berharap. Kini mereka menyerang, mengatur tempo, bahkan mendominasi. Pemain-pemain diaspora baru seperti Ole Romeny, Joey Pelupessy, Thom Haye dan Calvin Verdonk—tak lupa Marselino Ferdinand menjadi simbol transformasi dan puzzle yang hilang. Sementara nama-nama seperti Jaya Idzes, Justin Hubner dan Rizky Ridho memperkuat tulang punggung belakang pengalaman dan kualitas bertaraf internasional. Adapun juga Mees Hilgers dan Kevin Diks siap menjadi penopang mereka.

Tim ini tidak sekadar bermain bola. Mereka sedang membentuk ulang narasi sepak bola Indonesia—bahwa negeri ini bisa, dan pantas, bersaing di level tertinggi.

Laga Kontra China, Putaran Menuju Sejarah

Dan kini, di depan mata, pertandingan besar menanti. Laga kontra China di GBK pada 5 Juni 2025 mendatang, menjadi momentum krusial. Tiga poin dari pertandingan ini bisa membawa Indonesia naik di dua besar klasemen grup C dan memperbesar peluang lolos langsung ke Piala Dunia 2026. Jika pun belum lolos otomatis, setidaknya melangkah ke babak keempat di peringkat ketiga dan keempat—yang hanya selangkah lagi dari panggung dunia.

China bukan lawan sembarangan. Secara peringkat FIFA, mereka masih di atas Indonesia. Secara infrastruktur dan sejarah, mereka lebih matang. Tapi sepak bola bukan matematika kaku. Sepak bola adalah permainan momentum dan semangat. Dan GBK akan menjadi lautan merah yang siap mendidihkan atmosfer.

Suporter, seperti darah dalam tubuh tim ini, sudah bersiap. Tiket ludes. Akomodasi penuh. Semua mengalir dalam satu hasrat: melihat Garuda terbang lebih tinggi.

Malam akan turun di Jakarta saat Indonesia menghadapi China di GBK. Tapi di balik kegelapan malam, cahaya mimpi itu masih menyala terang. Tidak ada yang bisa mematikan semangat tim ini kecuali kita sendiri.

Garuda kini sedang terbang tinggi, membawa harapan 270 juta rakyat. Dan kita semua melihatnya. Bila bukan sekarang, kapan lagi? Bila bukan kita, siapa lagi?

Triumvirat "Meneer Belanda"

Nama Patrick Kluivert, Denny Landzaat dan Alex Pastoor disebut sebagai arsitek utama menuju kebangkitan ini. Ketiga coach dari Belanda itu datang ke Indonesia tidak dengan janji kosong, tetapi dengan rekam jejak dan visi. Dia membawa disiplin, sistem, dan pemahaman modern dalam bermain bola. Tapi lebih dari itu, dia menyuntikkan mental pemenang ke dalam tim yang dulu kerap inferior saat menghadapi lawan besar.

"Kami ingin lolos ke Piala Dunia," ujar Patrick, dalam konpers perdana, Minggu (12/1/2025) silam 

Kalimat itu bukan sekadar motivasi. Di bawah asuhannya, mentalitas dan kualitas pemain berubah. Mereka tidak lagi panik saat tertinggal, tidak mudah emosi saat diprovokasi, dan tetap percaya diri saat melawan tim di atas kertas lebih kuat.

Patick Kluivert dianggap sebagai orang tepat untuk memimpin Timnas Indonesia—mempunyai banyak pemain diaspora di mana kelahiran dan berdarah Belanda, karena sesama berasal dari Negeri Kincir Angin.

Kekurangan Patrick Kluivert sebagai pelatih bakal ditutupi oleh Alex Pastoor dan Denny Landzaat, yang bakal melengkapi dari sisi taktik dan teknik. Karena ketiganya bisa disebut triumvirat.

Sepak Bola sebagai Identitas Bangsa

Erick Thohir—pria menjabat Ketua Umum PSSI ini memberanikan dii mewujudkan mimpi berlaga di Piala Dunia—bukan semata-mata impian Erick atau federasi. Ini adalah mimpi kolektif bangsa. Sebab di negeri ini, sepak bola adalah bahasa persatuan yang paling universal. Ia menyatukan perbedaan, meredam gesekan, dan menjadi oase di tengah keruwetan kehidupan sosial-politik.

Erick juga berani membawa pemain keturunan—memang punya kualitas. Dia tidak terjebak pada romantisme, tetapi pada efektivitas. Dan hasilnya—Indonesia kini punya kedalaman skuad yang bisa diandalkan—bukan hanya 11 pemain inti, tapi hingga bangku cadangan.

Ketika Timnas menang, seluruh negeri bersorak. Ketika kalah pun, masih banyak memeluk dan memberi semangat. Tak banyak hal yang bisa menyatukan Indonesia seperti sepak bola.

Dan kini, kesempatan besar itu datang lagi. Bukan hanya untuk menang, tapi untuk menulis ulang sejarah. Indonesia belum pernah tampil di Piala Dunia level senior. Tapi jika perjalanan ini terus dijaga dan dipertahankan, kemungkinan itu tak lagi mustahil. Ini sema unuk membangun mimpi dn menyusun warisan

Yang sedang dibangun hari ini bukan hanya kemenangan sesaat. Ini tentang warisan. Tentang sistem pembinaan terus diperkuat. Tentang kompetisi lokal yang perlu didukung. Tentang regenerasi pelatih, fasilitas, dan budaya menonton sepak bola yang sehat.

Jika semua ini dijaga, Piala Dunia bukan hanya bisa diraih sekali, tapi berkali-kali. Bahkan bukan tak mungkin suatu saat nanti Indonesia menjadi tuan rumah.

Untuk itu, semua elemen bangsa perlu bersatu: federasi, klub, pemerintah, media, dan tentu, para suporter. Dukungan bukan hanya hadir di stadion, tetapi juga dalam bentuk kritik membangun, kampanye positif, dan semangat untuk mendukung pembinaan usia dini.

Editor: Sukarjito

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera.co.
Lentera.co.