
KOLOM (Lentera) -Lonjakan harga emas tak terbendung. Nilai kenaikannya ugal -ugalan. Sekali naik sampai di atas Rp 15 ribu per gram. Bukan main.
Meski demikian. Kenaikan harga logam mulia itu tak seberapa ramainya. Dibandingkan kenaikan harga kelapa. Kalaupun sedikit bergaung, ya ....itu terbatas.
Kenapa? Karena bisnis emas, kalangan "the have". Kalangan menengah ke atas. Sedangkan kenaikan harga kelapa? Sedikit naik, sudah ramai. Apalagi kalo melejit seperti sekarang.
Kelapa memang berhubungan langsung dengan kaum ekonomi lemah. Orang Indonesia, jika masak tanpa santan kelapa terasa ada yang kurang. Kurang gurih. Hilang rasa sedapnya.
Ketika harga kelapa melambung, maka di pasar, di kampung, di forum-forum arisan PKK, pembicaraan tentang kenaikan harganya riuh sekali. Di mana-mana, topik utama pembicaraan: kelapa.
Menjelang Lebaran, harga kelapa mulai naik. Terus merangkak. Hingga kini. Harga sebutir kelapa yang sebelumnya Rp 10 ribu. Naik jadi Rp 12 ribu. Naik lagi Rp 15 ribu. Kini harganya antara Rp 20 ribu - Rp 25 ribu.
Kuliner yang menggunakan santan pun terdampak langsung. Seperti: gudeg dan nasi liwet. Juga rendang di warung-warung makan Padang.
"Sebelum Lebaran harga sekilogram kelapa parut Rp 18 ribu. Sekarang Rp 35 ribu," kata penjual nasi Padang di Sriwedari, Solo.
Panci besar yang biasa terisi rendang. Kulihat hanya sedikit. Laris to?
"Bikin rendang sedikit saja. Harga kelapa sekarang mahal,"
Selidik punya selidik., ternyata biang keroknya, kelapa banyak diekspor.
Melambungnya harga kelapa. Tak pernah terjadi seperti ini. Karena itu banyak yang heran. Yang sudah biasa naik, itu bawang putih dan lombok. Disusul kentang. Biasanya kentang Rp 10 ribu/kg. Kini jadi Rp 20 ribu - Rp 23 ribu Bahkan lebih.
Belakangan yang ikut-ikutan naik harga, wortel. Biasanya Rp 7 ribu/kg. Kini antara Rp 13 ribu - Rp 17 ribu/kg. Penjual di pasar, bilang. Harga-harga bukan naik, tapi ganti harga.
Maklum, produksi sayur-mayur banyak dipengaruhi cuaca. Tak ada hujan, sayur sulit tumbuh. Kebanyakan hujan, sayur membusuk. Akhir-akhir ini cuaca memang sering tak menentu.
Namun, hal yang tak pernah terjadi, kini benar-benar mengejutkan.
Ya, itu tadi: harga kelapa naik. Bikin puyeng kepala. Naiknya tak tanggung-tanggung. Seratus persen. Bahkan lebih.
Ini mengherankan. Sebab kelapa bukan tanaman musiman. Kemarau atau musim hujan, kelapa selalu tersedia. Tanaman ini selalu berbuah.
Pedagang pasar di Yogya dan Solo Raya, biasanya terima pasokan kelapa dari Purworejo dan Kebumen. Sedangkan, pedagang pasardi Jakarta dan Banten biasa dikirim dari Serang dan Lampung.
Belakangan, pedagang kesulitan memperoleh dagangan. Kiriman sangat terbatas.
Yang biasa dikirim 50 butir, kini hanya dapat 20 butir. Yang biasa dapat kiriman 25 butir. Hanya kebagian 10 butir.
"Barangnya susah", ujar pedagang kelapa di Pasar Gede, Solo.
Ternyata, melambungnya harga kelapa, karena besarnya permintaan dari China. Negeri Tirai Bambu ini sedang "keranjingan" minuman dan makanan yang dicampur santan. Santan dijadikan pengganti susu dalam industri makanan dan minuman.
Rupanya mereka merasakan, santan lebih nikmat dari susu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari Januari hingga Februari 2025 ekspor kelapa bulat mencapai US$ 30,8 juta atau setara 517 miliar ( USD 1 = Rp 16.786). Volume ekspor mencapai 71.077 ton.
Permintaan Melesat
Tujuan ekspor adalah China dan Vietnam. Selama empat tahun terakhir, data BPS menunjukkan, ekspor kelapa fluktuatif. Tahun 2021 sebesar 431.841 ton dengan nilai US$ 102,9 juta setara Rp 1,72 triliun.
Namun 2022 menurun menjadi 288.286 ton senilai US$65,6 juta setara Rp 1,10 triliun. Memasuki tahun 2023, permintaan melesat, menembus 380.883 ton. Terus melambung pada tahun 2024 menjadi 431.915 ton.
Diperkirakan, permintaan ekspor akan terus meningkat. Selain China dan Vietnam, permintaan komoditas kelapa dari Indonesia datang dari Thailand dan Malaysia.
Akibat tingginya permintaan ekspor, pasokan industri dalam negeri tersendat.
Melihat kondisi seperti ini Kementerian Perindutrian usul, harus ada moratorium. Sementara ekspor kelapa distop. Sebab kebutuhan di dalam negeri juga cukup besar.
Belum diketahui. Apakah Kementerian Perdagangan setuju atau tidak. Kemenperin juga mengusulkan, agar skema Pungutan Ekspor (PE) dan harga untuk kelapa bulat agar lebih layak. Dengan demikian petani kelapa, kesejahteraannya dapat meningkat.
Hendaknya usulan Kemenperin itu bukan sekedar basa-basi. Benar- benar, bukan hanya untuk kepentingan industri nasional dan UMKM.
Tapi yang tak bisa ditawar- awar. Adalah untuk kesejahteraan petani kelapa (*)
Penulis: Subakti Sidik, wartawan senior PWI|Editor: Arifin BH