
Jakarta kotaku indah dan megah
Di situlah aku dilahirkan
Rumahku di salah satu gang
Namanya gang Kelinci
Entah apa sampai namanya Kelinci
Mungkin dulu kerajaan kelinci
Karena manusia bertambah banyak
Kasihan kelinci terdesak
Sekarang rumahnya berjubel
Oh... padat penghuninya
Anak-anak segudang
Krudak-kruduk Kayak kelinci
Kami semua hidup rukun dan damai
Hanya satu yang aku herankan
Badanku bulat tak bisa tinggi
Persis kayak anak kelinci…
Lagu “Gang Kelinci” yang dipopulerkan Lilis Suryani pada 1963 adalah lagu ciptaan dari Titiek Puspa.
Bagi sebagian masyarakat, lagu itu masih dikenal hingga sekarang. Bagaimana tidak, setelah Lilis Suryani meninggal dunia, Titiek Puspa mulai menyanyikan “Gang Kelinci” lagi di televisi.
Jakarta kotaku indah dan megah
Di situlah aku dilahirkan
Rumahku di salah satu gang
Namanya gang Kelinci…
Yang membuat lagu “Gang Kelinci” begitu memikat adalah cara Titik Puspa menyampaikan ceritanya. Natural. Membuat pendengar merasa hanyut. Termasuk musiknya. Ikut merasakan.
Seperti lagu-lagu yang lain, Titik Puspa tidak pernah menggurui. Yang ada hanyalah sebuah narasi jernih tentang kehidupan.
Saat ditemui di detik kawasan Jakarta Selatan, Titiek Puspa sempat menceritakan kisah di balik lagu tersebut.
Rupanya, lagu itu memang diminta sejak Lilis Suryani masih kecil. Saat itu Lilis Suryani mendatangi Titiek Puspa yang tinggal di kawasan Raden Saleh, Jakarta Pusat.
Saat itu Lilis Suryani masih sangat kecil. Ia berkunjung hendak meminta lagu dari Titiek Puspa.
Saat itu Titiek Puspa menyambut Lilis Suryani dengan baik. Ia bahkan membiarkan Lilis Suryani lebih dulu bermain di rumahnya
"Jadi Gang Kelinci itu tahun berapa ya, 1963 itu Lilis Suryani masih kecil uprikitik isiprikitik," ujar Titiek Puspa.
"Dia datang dari rumahnya ke tempat saya. Saya di Raden Saleh nah dia di Pasar Baru di Gang Kelinci. Nah itu pagi-pagi udah dateng, 'Tante bikinin lagu dong.' Terus ya iya sini main dulu sini-sini,'" cerita Titiek Puspa.
Lalu Lilis Suryani bermain sampai sore di rumahnya. Titiek Puspa pun lupa membuatkan lagu dan hanya bisa mengantarkan Lilis Suryani pulang ke rumah.
Titiek Puspa saat itu naik becak dan masuk ke dalam Gang Kelinci bersama Lilis Suryani. Ia mengamati banyak orang dan keadaan di Gang Kelinci.
"Terus pas sudah sore, 'Tante mana lagunya?' 'Hah iya gimana ya. Sudah deh ini sudah sore kamu pulang.' Tak anterin pakai becak dulu. Dari Raden Saleh ke Pasar Baru, masuk ke Gang Kelinci," lanjutnya.
Saat itu Gang Kelinci sangat sempit. Banyak anak-anak berlarian ke sana, ke sini, dan menjadi inspirasi untuk Titiek Puspa.
Lalu Titiek Puspa sempat bersenandung di dalam becak sepulang dari rumah Lilis Suryani. Kemudian muncullah nada dan lirik untuk lagu Gang Kelinci.
"Itu gangnya seiprikitik, bocahnya banyak alah ramai banget. Nah pulangnya itu saya naik becak, di dalam becak itu saya bersenandung gitu, sudah jadi lagunya. Sampai rumah ya sudah jadi lagunya," tutur Titiek Puspa sambil tertawa.
Titiek Puspa pun mengakui, ia memang kerap menciptakan lagu dari hal-hal yang ia alami sendiri. Atau, biasanya Titiek Puspa mendapatkan inspirasi dari cerita orang lain.
"Iya memang yang saya lihat. Emang itu anak-anak banyak banget di gang itu," tutupnya.
Petikan lirik lagu "Gang Kelinci" tersebut sebenarnya menggambarkan suasana perkampungan padat penduduk di sekitar Jalan Kelinci, Jakarta Pusat. Tepatnya di area Pasar Baru.
Lagu ini menggambarkan suasana perkampungan yang ramai dan penuh dengan kehidupan, bahkan sampai anak-anak yang "terdesak" karena terlalu padat.
Ada enam Jalan Kelinci di daerah tersebut yakni Jalan Kelinci Raya, Jalan Kelinci Dalam, Jalan Kelinci I, Jalan Kelinci II, Jalan Kelinci III, dan Jalan Kelinci IV.
Lewat Gang Kelinci
Saya mengenal lagu itu semenjak saya masih sekolah SD, sekitar tahun 1970-an. Zaman itu hewan kelinci hasil ternakan banyak dijual di depan sekolahan.
Begitu juga di kawasan wisata. Kelinci ternakan dijual bebas. Lucu.
Waktu mendengar lagu “Gang Kelinci” terbayang riuhnya kota Jakarta.
Antara tahun 2014 hingga 2022 saya sering bertugas ke Jakarta. Suatu ketika melewati Pasar Baru. Waktu itu saya naik gojek, dari Krekot Bunder menuju Monas. Saya melihat nama Bakmi Gang Kelinci.
Saya punya pikiran, jangan-jangan ini daerah yang disebut Titik Puspa dalam lagu “Gang Kelinci”. Saya memotret menggunakan kamera Smartphone.
Titik Puspa telah tiada. Tetapi suara dan lagu ciptaannya tetap hidup. Lagu “Gang Kelinci”, “Kupu-Kupu Malam” atau lagu “Bing” akan terus dikenang.
Bukan hanya sebagai lagu hit di zamannya, melainkan sebagai bukti nyata bahwa musik bisa menjadi medium kuat untuk menyuarakan fakta kebenaran. Sekalipun kebenaran itu tidak selalu nyaman didengar bagi sebagian orang. Karyanya tetap relevan, bahlan puluhan tahun setelah dirilis.
Suara dan ciptaan Titik Puspa akan terus hidup!
Penulis: Arifin BH, wartawan tinggal di Surabaya, Pemimpin Redaksi Lentera