
JEMBER (Lenteratoday)- Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Jember bekerjasama dengan PT Astra Internasional membina petani kopi di enam desa di wilayah Kecamatan Sumber Wringin, Bondowoso. Yakni Desa Sukorejo, Sukosari Kidul, Tegal Jati, Sumber Wringin, Sumber Gading dan Rejo Agung.
Semuanya adalah desa di daerah penyangga Kawah Ijen yang menghasilkan kopi Arabika. Kopi bermutu tinggi Raung-Ijen ini sudah terkenal memiliki cita rasa khas yang disukai penikmat kopi.
Namun, sayangnya keternaran kopi Raung-Ijen ini belum sepenuhnya berdampak nyata bagi petani. Hasil panen petani dihargai rendah oleh tengkulak. LP2M Universitas Jember bekerjasama dengan PT Astra Internasional membantu petani, dari sisi teknis penanaman kopi, penguatan kelembagaan hingga pemasaran.
Salah satu cara yang ditempuh adalah menghubungkan petani dengan buyer secara langsung agar petani mendapatkan harga yang fair. Tentu saja kerja besar ini membutuhkan kerjasama dengan semua pihak, pentahelix istilahnya. Dimana pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media bersatu padu berkoordinasi serta berkomitmen untuk mengembangkan potensi lokal.
Hadir dalam kesempatan ini Ketua DPRD Bondowoso, Ahmad Dhafir, staf ahli bidang hubungan antar lembaga Kemendes PDTT, Samsul Widodo, juga Ketua LP2M Universitas Jember, Prof. Yuli Witono beserta jajarannya. Tampak pula anggota Komisi C DPRD Jawa Timur, Ahmad Hadinuddin, perwakilan PT. Astra Internasional, Bima Krida Arya, perwakilan Bank Jatim Bondowoso, perwakilan Perum Perhutani, Muspika Kecamatan Sumberwringin serta Kepala Desa Sukorejo, Sumarni.
Di sela-sela acara saya menyempatkan diri ngobrol dengan Pak Anwar, petani kopi setempat. Menurutnya sekali panen dirinya bisa mendapatkan hasil 2 hingga 3 ton kopi dari setengah hektar lahan miliknya. Setahun kopi bisa dipanen dua kali jika dirawat dengan baik. “Selama ini saya menjual kopi secara glondongan, biasanya dihargai paling tinggi 9 ribu rupiah per kilogramnya. Sebenarnya harga kopi akan lebih tinggi jika diolah. Biji kopi yang sudah diolah dengan melewati penjemuran yang baik bisa mencapai harga 250 ribu perkilogramnya.
Harga makin tinggi jika sudah diolah menjadi kopi bubuk. Tapi saya butuh uang segera, sementara modal untuk mengolah kopi belum ada,” tutur Pak Anwar yang sudah lima tahun bertanam kopi.
Permasalahan pemasaran dan permodalan yang dihadapi petani kopi ini persis sama dengan penjelasan yang diberikan oleh Ketua DPRD Bondowoso, Ahmad Dhafir. Menurutnya petani kopi Bondowoso sudah paham benar bagaimana bertanam kopi, tapi pemasaran masih menjadi ganjalan. Seringnya petani menjual hasil panennya ke tengkulak atau pengijon. “Pengijon datang saat tanaman kopi sudah berbunga, dibelinya dengan harga 4 ribu per kilogram saja, padahal empat lima bulan kemudian di saat panen kopi harganya di pasaran sudah mencapai 9 ribu rupiah. Artinya keuntungan pengijon sudah mencapai 40 persen,” kata Dhafir.
Kedua, banyak pembeli kopi Raung-Ijen hasil Bondowoso, namun mereka memilih memberi merk tertentu sehingga hilang lah nama Bondowosonya. “Saya ingin kopi dari Bondowoso membawa nama Bondowoso, agar daerah kita makin dikenal, agar wisatawan tertarik datang dan memberi dampak ekonomi berganda bagi Bondowoso. Saya minta Universitas Jember dan PT. Astra Internasional menjadi orang tua asuh yang mampu membantu mencari pembeli dan memasarkan langsung kopi Bondowoso tanpa melewati tengkulak. Membantu pendampingan bagi Bumdes yang akan mengolah kopi. Saya juga mohon pihak perbankan dalam hal ini Bank Jatim mau memberikan kredit lunak bagi petani kopi kita,” imbau Ahmad Dhafir.
Permintaan Ketua DPRD Bondowoso diamini oleh Ketua LP2M Universitas Jember. Menurut Prof. Yuli Witono, Universitas Jember akan konsisten membantu petani kopi di Bondowoso, apalagi penelitian kopi sudah masuk dalam Rencana Induk Penelitian (RIP) LP2M. “Universitas Jember tidak mau menjadi menara gading, berjarak dengan masyarakat. Pendampingan sudah berjalan bukan hanya melalui kerjasama dengan PT. Astra Internasional, namun juga melalui program KKN dan pengabdian kepada masyarakat oleh para dosen. Bentuk-bentuk pendampingan akan lebih mudah apalagi kita sudah membuka kampus di Bondowoso,” ungkap Prof. Yuli Witono.
Bagi Prof. Yuli Witono, persoalan petani kopi bukan hal yang asing baginya, pasalnya orang tuanya di Dampit, Malang adalah juga petani kopi. “Pendampingan oleh LP2M Universitas Jember selanjutnya akan fokus pada bagaimana memasarkan kopi petani Bondowoso, serta penguatan kelembagaan bagi Bumdes yang sudah didirikan. Rencananya setelah acara ini akan ada pertemuan bisnis dengan para pembeli potensial dengan difasilitasi oleh Universitas Jember, Kemendes PDTT dan PT. Astra Internasional,” kata Prof. Yuli Witono.
Semuanya bersatu padu berkoordinasi serta berkomitmen untuk mengembangkan potensi Sumber Wringin pada khususnya dan Bondowoso secara keseluruhan pada umumnya. Semua hadir membantu menjaga asa petani kopi Sumber Wringin untuk bisa mengekspor kopi Raung-Ijen mereka. (mok)