ERETAN Kulon, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, menjadi saksi perjalanan saya.
Dua kali melewatinya. Dua-duanya diajak oleh Eko Wienarto. Teman kuliah saya di Akademi Wartawan Surabaya -sekarang menjadi Stikosa-AWS
Kisaran tahun 1982, dari Surabaya ke Jkarta kami berdua naik mobil pribadi. Yang pertama mengendarai Corolla keluaran 1974. Berikutnya membawa Colt T120.
Dua-duanya mobil legenda. Dan, kedua mobil itu milik Eko Wie. Saya belum bisa setir mobil. Jadi Surabaya - Jakarta pergi pulang, dia yang pegang kemudi
Setiap sampai di Eretan, Eko selalu bilang: “Kita berhenti sebentar”.
Eko sangat menggemari alam. Sekadar menikmati lautan bebas, buat Eko sesuatu banget.
Saya paham. Berhenti itu tentu bukan sekadar menyapa alam. Juga untuk mendinginkan mesin mobil.
“Eretan Kulon salah satu tempat favoritku,” tulisnya lewat WhatsApp, Ahad siang (23/11/2025).
Saya katakan hari ini sedang mengenang Eretan.
Warisan Eretan
Di tengah deburan ombak yang kencang, dengan suara khasnya, suasana tampak hening ketika Hadi, sopir pick-up pengangkut ikan segar berkeluh dan bertanya, “Aku mau punya anak, kamu mau punya suami?” pada Sartika, ibu tunggal yang mengais nasib di Pantura (Pantai Utara).
Adegan sunyi namun hangat dalam film ”Pangku” sedang menjadi sorotan itu.
Pengaman Pantai Eretan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu berdiri kokoh menjadi saksi bisu perjalanan syuting sinema yang membawa 4 (empat) penghargaan di Busan International Film Festival (BIFF) tahun 2025 itu.
Film "Pangku" merupakan karya sutradara Reza Rahadian
Film "Pangku" terinspirasi dari fenomena kopi pangku yang terjadi di beberapa daerah, terutama di jalur Pantura (Pantai Utara).
Disebut ‘kopi pangku’ karena warung-warung tersebut tidak hanya menjual kopi, tetapi juga menyediakan layanan dari para perempuan yang akan menemani pembeli untuk ‘ngobrol’ sambil duduk di pangkuannya.
Pantura dan kopi pangku juga menjadi latar di film ini, meski saat ini praktiknya sudah mulai jarang ditemukan karena pergeseran sosial.
"Pangku" mengikuti potret hidup Sartika (Claresta Taufan), seorang perempuan muda yang sedang hamil.
Sartika pindah dari kota asalnya dengan harapan bisa memberikan masa depan yang lebih baik bagi anaknya.
Ia bertemu dengan Maya (Christine Hakim), pemilik kedai kopi di Pantura. Maya merawat Sartika dan membantu persalinannya.
Setelah Sartika melahirkan, Maya merayunya untuk bekerja menyuguhkan kopi sambil dipangku.
Suatu hari, Sartika bertemu dan jatuh cinta dengan sopir truk distributor ikan bernama Hadi (Fedi Nuril).
Film Pangku, meraih penghargaan sebagai Film Cerita Panjang Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 2025 yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat pada Kamis, 20 November 2025.
Secara keseluruhan, film "Pangku" membawa pulang empat piala, termasuk Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik untuk Christine Hakim, Penulis Skenario Asli Terbaik untuk Reza dan Felix K Nesi, dan Pengarah Artistik Terbaik untuk Eros Eflin.
Film "Pangku" menjadi surat cinta untuk semua ibu sekaligus bentuk ungkapan terima kasih kepada para perempuan yang selalu berjuang di tengah keterbatasan yang dimiliki.
Usai nonton film “Pangku” ingatan saya kembali ke Eretan.
Cerita lama dan kenangan itu menjadi sejarah. Cerita sejarah tak pernah mengucapkan selamat tinggal.
Cerita sejarah selalu mengatakan: “Sampai jumpa”.
Tranportasi udara Surabaya-Jakarta mudah dijangkau. Jalan Tol Trans Jawa tidak lagi melewati Eretan. Sejak itu pantai Eretan cuma kenangan. Cerita sejarah.
Sekarang, lewat film “Pangku” pantai Eretan kembali muncul. Masih patut dikenang!
Film “Pangku” seperti perjalanan jauh saya, dari Surabaya ke Jakarta, ditutup oleh lagu Iwans Fals: Ibu!
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku, anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah…
Lirik sederhana. Namun menyentuh (*)
Arifin BH, Pemimpin Redaksi



.jpg)
