01 November 2025

Get In Touch

BBM Ber-Etanol, Jangan Terlalu Getol

Ilustrasi: Pengisian Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mengandung Etanol (rri.co)
Ilustrasi: Pengisian Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mengandung Etanol (rri.co)

OPINI (Lentera) -‎Pemerintah tengah mendorong transisi energi hijau dengan mengenalkan bahan bakar minyak (BBM) ber-etanol, atau E10, yakni campuran 10 persen etanol dengan 90 persen bensin.

‎Regulasi Kementerian ESDM membolehkan campuran etanol hingga 20 persen. Pertamina mulai menyalurkan Pertalite ber-etanol sesuai ambang batas ini. Secara teori, etanol bisa meningkatkan angka oktan, menekan emisi karbon, dan mendukung agenda nasional untuk energi bersih.

‎Namun, fakta di lapangan menunjukkan risiko nyata bagi konsumen, terutama pengguna kendaraan lawas.

‎Di Jombang, Jawa Timur, sejumlah pengendara melaporkan mesin brebet, mogok, bahkan rusak total setelah mengisi Pertalite yang diduga bercampur etanol. Seorang warga harus mengeluarkan Rp 69.500 untuk menguras tangki dan mengganti bahan bakar dengan Pertamax.

‎Data dari bengkel di Jogoroto mencatat lima motor per hari mengalami keluhan serupa, terutama mereka yang membeli BBM di SPBU Mojowarno dan pom mini sekitar Jombang.

‎Hal ini menunjukkan keraguan serius terhadap kualitas dan konsistensi BBM nasional. Secara kimia, etanol memiliki sifat higroskopis yang mudah menyerap air. Hal ini dapat menyebabkan korosi tangki, penyumbatan filter, hingga kerusakan karburator, terutama untuk kendaraan lawas dengan sistem karburator.

‎Analisis Bell Performance menunjukkan E10 bisa mengurangi efisiensi energi 3,5–5%, sehingga jarak tempuh kendaraan menjadi lebih pendek.

‎Secara sosial dan ekonomi, dampak kebijakan ini juga signifikan. Konsumen kecil menjadi pihak pertama yang menanggung kerugian akibat kebijakan prematur.

‎Posko pengaduan baru dibuka di beberapa SPBU di wilayah Jatim-Bali-Nusantara. Sementara klarifikasi resmi dari Pertamina dan Kementerian ESDM terkait pencampuran etanol di luar uji coba resmi masih minim.

Akibatnya, masyarakat terpaksa menanggung biaya perbaikan kendaraan tanpa kepastian siapa yang bertanggung jawab.

‎Dari sisi kebijakan, transisi energi bersih memang penting, tetapi harus dilaksanakan dengan kesiapan infrastruktur, pengawasan mutu, dan edukasi publik. Tanpa itu, BBM ber-etanol berpotensi menjadi bumerang. Alih-alih solusi hijau, justru menimbulkan kerugian ekonomi bagi rakyat.

‎Saat ini, konsumen kendaraan lawas—yang jumlahnya masih besar di Indonesia, pihak paling rentan.

‎Negara-negara lain yang telah mengimplementasikan E10, seperti Brasil dan Amerika Serikat, melakukannya dengan persiapan matang, termasuk sosialisasi publik, standar kualitas bahan bakar yang ketat, serta subsidi untuk kendaraan yang kompatibel.

‎Indonesia, sebaliknya, masih menghadapi masalah transparansi dan kesiapan teknis, sehingga kebijakan ini belum sepenuhnya aman dan adil bagi rakyat.

‎Ambisi ramah lingkungan harus diseimbangkan dengan perlindungan terhadap konsumen. Tanpa mitigasi risiko yang jelas, tujuan hijau justru menimbulkan pertanyaan serius: siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan kendaraan akibat kebijakan ini? Bagaimana pemerintah memastikan transisi energi tetap aman bagi rakyat?

‎Kebijakan energi bersih bukan hanya soal label “ramah lingkungan”, tetapi juga soal keadilan sosial dan perlindungan ekonomi rakyat. Jangan terlalu getol. Masyarakat belum siap.

Penulis: M. Rohanudin|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera.co.
Lentera.co.