
JAKARTA(Lentera) - "Orang radio aroma nafasnya akan terasa radio". Quote puitis ini menggambarkan betapa seseorang yang tekun menjadi sangat mahir dalam pekerjaannya. Dalam konteks quote di atas, mereka akan selalu hidup dalam dirinya sendiri sebagai profesional radio.
Berbeda dengan mereka yang berhati tumpul seperti pepatah "Air di ladang yang kucari tak cukup menghijaukan lahan yang kering".
Bahwa seorang petani tidak mau bersusah payah menghadirkan "air dari surga" untuk menghijaukan padi yang ditanamnya, akhirnya tak berbuah beras.
Itulah ilustrasi pendek yang mengilhami penulis di saat Radio Republik Indonesia (RRI) berusia 80 tahun (11 September 2025) menandai perjalanan panjang yang penuh dinamika .
Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, RRI memiliki tanggung jawab besar untuk merawat halaman yang luas, memastikan setiap aspek penyiaran berfungsi dengan baik. Kita tidak bisa menyuburkan halaman tetangga, sementara halaman kita kering "tak berair".
Pertanyaan-pertanyaan kritis muncul : Seberapa lama kita mendengar radio yang kita asuh? Seberapa kritis kita mengontrol kinerja konten siaran? Dan seberapa serius perhatian kita terhadap pemancar-pemancar yang kinerjanya merosot, bahkan ada yang mati total.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kunci untuk memahami mengapa pendengar radio menurun.
Bukan hanya karena perubahan teknologi digital, tetapi karena kurangnya perhatian terhadap hal-hal yang sangat urgen dalam menjaga kualitas siaran.
Terkadang RRI lupa terhadap isu-isu fundamental dalam menjaga kedaulatan negara, seperti hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan. Lupa pula dengan sengketa Laut China Selatan yang ada di halaman laut Natuna Utara.
Fanatisme Pendengar RRI
Lihatlah, sebagian besar orang-orang Papua menjadi pendengar fanatik RRI secara turun temurun. Mereka sulit menggeser kecintaannya pada media lain, walau televisi dan internet juga hadir ke wilayah Indonesia timur itu.
Di Papua, RRI memiliki program khusus yang sederhana namun sangat berarti bagi masyarakat lokal.
Program yang bernama "Ruang Pengumuman" ini mungkin tidak terdengar menarik bagi sebagian orang, namun bagi orang-orang Papua, program ini sangat penting.
Siaran RRI menjadi oase bagi mereka, tempat mereka menemukan kabar dan informasi.
Contohnya, ketika seseorang mengirim ikan asin ke sanak saudara di tempat jauh, mereka biasa memantau status pengiriman melalui RRI.
Bahkan, ketika ada kabar kematian, masyarakat Papua mengonfirmasi kebenarannya melalui siaran RRI.
Di tanah Papua yang indah, Fak Fak menjadi saksi bisu kekuatan siaran RRI.
Pemancar di atas bukit menjangkau wilayah luas, bahkan hingga Kepulauan Seram di Maluku. Banyak keluarga di sana mendengarkan siaran RRI setiap hari.
Tidak hanya di Papua, RRI juga menjadi pilihan masyarakat di Nusa Tenggara Barat, khususnya di Lombok yang dijuluki "Kota Seribu Masjid".
Di sana, Adzan RRI menjadi acuan waktu berbuka puasa dan bersahur selama bulan Ramadan. Kehati-hatian RRI tepat waktu penyiaran Adzan menjadi perhatian utama.
Sampai sekarang RRI masih eksis menyiarkan langsung beberapa pertandingan sepak bola. Meski banyak orang menikmati pertandingan itu di televisi.
Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, RRI punya kewajiban melayani kurang lebih 4 juta jiwa penyandang tuna netra di Indonesia. Sebagian besar di antara mereka adalah pendengar siaran bola RRI.
Maka jika kita melihat RRI, tidak bisa hanya dikerling dari lubang sedotan limun.
Siapa yang akan menjadi pelopor memberikan layanan siaran kepada : masyarakat perbatasan, suku-suku tertinggal, kelompok rentan, kelompok minoritas, serta anak-anak yang terisolasi dari pendidikan formal dan sejenisnya?
Inilah isu-isu penting berkaitan track keberpihakan RRI pada kepentingan publik.
"Rawatlah apa yang kau miliki dengan sesungguhnya", begitu kata banyak orang yang bernada skeptis dengan perubahan RRI yang belakangan menggebu-gebu bermain di portal digital.
Bangkitlah, sesuatu yang luar biasa tidak bisa ditempuh dengan cara -cara biasa.
Penulis: M.Rohanudin, Direktur Utama RRI 2016 - 2021 dan Dewan Pengawas RRI 2021 - 2026|Editor: Arifin BH