18 August 2025

Get In Touch

Kursi Tinggi

 Zainal Arifin Emka, wartawan dan pengajar jurnalistik
Zainal Arifin Emka, wartawan dan pengajar jurnalistik

SURABAYA (Lentera) -Adakah pengaruh psikologis pada posisi sopir yang tempat duduknya tinggi? Itu pertanyaan iseng saya pada Artificial Intelligence (AI)

Berikut ini jawabannya: Ya, posisi sopir yang tempat duduknya tinggi dapat memiliki pengaruh psikologis. Di antaranya: Tempat duduk yang tinggi dapat memberikan perasaan dominan, Perasaan mampu mengontrol lingkungan sekitar.

Dengan visibilitas yang lebih baik, sopir dapat lebih sadar akan lingkungan sekitar dan lebih siap untuk menghadapi situasi yang tidak terduga.

Dan ini menariknya, ternyata ada pengaruh negatifnya. Yaitu, terbitnya kesombongan dan perilaku tidak sopan dari perasaan dominan yang berlebihan.

Di samping itu kedudukan sopir yang tinggi dapat membuatnya merasa terisolasi dari penumpang di sekitarnya, sehingga mengurangi empati dan kesadaran akan kebutuhan mereka.

Gagal Memahami

Keisengan ini membawa pikiran melayang saya pada geger rakyat Pati yang seperti biasa dinodai kerusuhan. Muncul kemudian narasi “aparat berhasil memukul mundur warga pengunjuk rasa”.

Saya  bertanya-tanya: memukul mundur warga yang hendak menyampaikan uneg-unegnya kok disebut “berhasil”?

Kemarahan warga antara lain dipicu kegagalan sang bupati merespon aspirasi warganya. Di masyarakat kita yang kesadaran literasinya -menurut UNESCO masih sangat rendah, hanya 0,001%, kegagalan seperti itu berulang, nyaris seperti peringatan hari kelahiran.

Jadi masalahnya pada atasan alias pejabat teras yang ngomong asal.

Tempat duduknya (baca: kedudukannya) yang tinggi telah memberi perasaan dominan dan perasaan mampu mengontrol lingkungan sekitarnya. Dan, pengaruh negatifnya adalah terbitnya kesombongan dan perilaku tidak sopan yang datang dari perasaan dominan yang berlebihan itu. Persis seperti kelakuan sopir truk atau bus yang ugal-ugalan.

Kedudukan yang tinggi telah membuat pak bupati terisolasi dari warga yang dipimpinnya, sehingga mengurangi empati dan kesadaran akan kebutuhan mereka. Apalagi memang tak banyak pemimpin produk Pilkada yang tahu siapa rakyatnya, bahkan siapa pemilihnya. Rakyat hanya dihitung sebagai sederet angka.

Perasaan Dominan

Urusan memahami orang lain memang merupakan tantangan yang sudah lama dan terus menerus. Lucunya, di dunia yang kini saling terhubung, tantangan ini justru menjadi kian rumit dan berisiko. 
Kegagalan memahami warga boleh  jadi bukan karena kebodohan atau niat jahat, melainkan karena bias-bias kognitif yang melekat dalam cara kita berinteraksi. 

Di media sosial beredar vidio berisi pernyataan bupati yang terkesan menantang warga: “Jangankan lima ribu, 50 puluh ribu saya tidak takut”. Sebuah ekspresi yang kemudian dimaknai sebagai arogansi, kesombongan yang memantik api!

Pak bupati tampak terlalu percaya diri pada kemampuan membaca kehendak rakyatnya. Hanya mengandalkan intuisi penguasa yang berkemungkinan salah. Pernyataan itu konon muncul tak diawali dialog yang penting untuk usaha saling memahami kehendak hati. 

Tentu dialog tak menjamin nilai 80 sampai 100. Faktanya dialog dalam wawancara kerja saja sering gagal mengungkap karakter asli pelamar kerja. Yang semula terkesan sebagai kader pejabat, ternyata kandidat koruptor jahat. 

Bagaimana pun toh hubungan pejabat dan rakyat tetap butuh yang namanya saling menaruh kepercayaan sebagai lem perekatnya. Tanpa itu tak ada partisipasi dan kolaborasi. Jadi sesekali gagal membaca watak asli adalah harga yang wajar untuk kelancaran komunikasi sosial.

Untuk bisa memahami perasaan dan pikiran rakyat, pertama-tama hilangkan perasaan bahwa kita akan selamanya duduk di kursi tinggi. Faktanya tidak lama, kok. Hanya lima tahun. Kalau tidak apes.

Semoga dengan kesadaran itu hilanglah kesombongan dan perilaku tidak sopan yang terbit dari perasaan dominan yang berlebihan.

Kedua, tentu saja butuh kerendahan hati. Itu artinya mengakui bahwa sesungguhnya kita tidak tahu banyak tentang rakyat, bahkan setelah berbincang lama. Kerendahan hati juga berarti menahan diri ngomong dengan nada tinggi apalagi menantang. 

Mungkin pelajaran paling penting adalah ini: ketika keadaan menjadi buruk dengan orang yang tidak kita kenal dengan baik, jangan terburu-buru menyalahkan mereka. 

Kemungkinan besar, kegagalan itu adalah milik kita. Karena kita terlalu yakin bahwa orang banyak itu mudah dibaca.

Seperti kesalahan sopir membaca situasi yang dia pikir sudah dikuasainya. Tempat duduknya yang tinggi memberikan perasaan dominan dan perasaan mampu mengontrol dan mengendalikan rakyatnya. Nyatanya tidak! *

Penulis: Zainal Arifin Emka, Wartawan Tua, Pengajar Jurnalistik|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera.co.
Lentera.co.