
Oleh: Suyoto*
Kasus demi kasus menimpa para pejabat publik, dari tingkat pusat hingga daerah. Bahkan mereka yang dikenal berintegritas dan punya niat baik pun bisa terjerat perkara hukum. Bukan karena mereka berniat jahat, melainkan karena ada perbuatan yang menurut hukum dianggap melawan hukum—meski tidak selalu disadari saat keputusan itu diambil.
Kasus pengadaan Chromebook yang melibatkan nama Menteri Pendidikan Nadiem Makarim hanyalah satu dari banyak contoh. Kita tidak dalam posisi menilai langkah penegak hukum ataupun membela pihak mana pun. Namun, ini menjadi momen penting untuk belajar: bagaimana agar pejabat publik tidak terjebak dalam niat baik yang berujung masalah hukum?
Mengapa Orang Baik Bisa Terjebak?
Banyak aktivis, pengusaha, atau politisi yang memasuki pemerintahan dengan semangat perubahan. Namun mereka kerap berhadapan dengan sistem birokrasi yang lamban, tata kelola yang rumit, dan prosedur yang membingungkan. Dalam semangat mempercepat solusi, mereka tergoda mengambil jalan pintas. Celakanya, jalan pintas itulah yang sering kali menjadi jerat hukum.
Padahal, dalam dunia pemerintahan, niat baik saja tidak cukup. Yang diperlukan adalah niat baik yang dipagari oleh kepatuhan hukum dan keteladanan moral.
Jurus 'Bodoh' yang Menyelamatkan
Agar tidak tergelincir, saya sering menyarankan jurus yang saya sebut sebagai “jurus bodoh”. Maksudnya bukan benar-benar bodoh, tapi menahan diri untuk tidak merasa paling paham dan tidak mengandalkan intuisi atau pengalaman pribadi semata dalam membuat keputusan negara.
Inilah prinsip-prinsipnya:
1. Jaga Niat dan Hindari Kepentingan Pribadi
Pastikan sejak awal tidak ada niat untuk:
* Merugikan negara,
* Menguntungkan diri sendiri, keluarga, atau kelompok tertentu,
* Melangkahi proses hukum atau tata kelola yang berlaku.
2. Telusuri dan Pahami Semua Regulasi
Sebelum membuat kebijakan atau keputusan:
* Telusuri peraturan perundang-undangan yang terkait.
* Pahami batas kewenangan Anda.
* Mintalah pertimbangan hukum tertulis dari pengacara negara (misalnya Biro Hukum, Kejaksaan, atau Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah - LKPP).
3. Gunakan Kajian Ahli dan Tim Teknis
Minta kajian dari:
* Staf internal yang kompeten,
* Konsultan independen,
* Akademisi atau pakar yang memiliki rekam jejak baik.
Rekomendasi mereka mungkin tidak sempurna atau belum tentu berhasil di lapangan, tetapi secara hukum itu dapat membuktikan bahwa Anda beritikad baik dan taat prosedur.
4. Hindari Keputusan Berdasarkan “Feeling”
Seringkali pejabat publik merasa lebih tahu karena pengalaman atau intuisi. Namun, dalam pemerintahan, pengalaman tidak bisa menggantikan prosedur. Ingat, dalam hukum yang berlaku saat ini, seseorang bisa terjerat korupsi bila tiga unsur ini terpenuhi:
* Ada perbuatan melawan hukum,
* Ada pihak yang diuntungkan, dan
* Ada kerugian negara.
5. Pahami Perbedaan antara Bisnis dan Negara
Dalam dunia bisnis, mencari keuntungan adalah wajar. Tapi dalam dunia pemerintahan, menciptakan tata kelola yang adil, transparan, dan akuntabel adalah utama. Selama tidak ada regulasi yang dilanggar, maka kerja sama antara pemerintah dan pelaku usaha sah-sah saja. Tapi begitu ada “permainan belakang”, itulah awal malapetaka.
Tujuh Elemen Kebijakan yang Perlu Selaras
Dari pengalaman saya menjadi pejabat publik, sebuah kebijakan akan sehat jika menyelaraskan tujuh elemen berikut:
1. Nilai utamayang diyakini (core values),
2. Niat awal (apakah murni untuk kepentingan publik?),
3. Visi Publik yang ingin dicapai,
4. Strategi yang digunakan,
5. Tata kelola yang digunakan (regulasi, akuntabilitas, transparansi),
6. Manajemen pelaksanaan (struktur organisasi, SDM, anggaran),
7. Budaya kerja yang dibangun (etika, integritas, kolaborasi).
Bila salah satu elemen tidak selaras—misalnya nilai bagus tapi strategi menabrak aturan—maka risiko hukum dan publikasi negatif sangat besar
Penutup: Jalan Selamat dalam Jabatan Publik
Menjadi pejabat publik adalah amanah yang berat. Dikelilingi tekanan politik, ekspektasi masyarakat, dan jebakan regulasi. Namun bukan berarti tidak ada jalan selamat. Jalan itu justru dimulai dengan niat baik yang dikelola dengan kehati-hatian dan kerendahan hati.
Maka, jangan takut terlihat “bodoh” karena bertanya, meminta pendapat hukum, atau menunda keputusan. Lebih baik terlihat lamban tapi selamat, daripada cepat namun terjerat.
Jurus bodoh yang penuh integritas lebih menyelamatkan daripada langkah cerdas yang menabrak batas.
*Chancellor United in Diversity