21 June 2025

Get In Touch

Pakar Unair : Pelanggaran Aturan Parkir di Surabaya Mencerminkan Lemahnya Sistem Tata Kelola

Parkir liar yang masih terjadi di Kawasan Ngagel, Surabaya. (Amanah/Lentera)
Parkir liar yang masih terjadi di Kawasan Ngagel, Surabaya. (Amanah/Lentera)

SURABAYA (Lentera) – Penyegelan sejumlah minimarket oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya akibat pelanggaran aturan parkir menuai kritik tajam dari kalangan akademisi.  Pakar ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. Rossanto Dwi Handoyo, Ph.D., menilai langkah tersebut mencerminkan lemahnya sistem tata kelola perparkiran di Surabaya, bukan semata persoalan penegakan aturan.

“Masalahnya ada di parkiran, tapi yang dihukum justru pemilik minimarket. Ini tidak proporsional,” kata Prof. Rossanto, seperti keterangan tertulis yang diterima Kamis (19/6/2025).

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair ini menuturkan, tindakan represif memang bisa menciptakan efek jera, namun tidak akan menyelesaikan akar persoalan jika tidak diikuti dengan reformasi sistem perparkiran.

Ia menilai pendekatan edukatif yang dilakukan selama ini belum efektif karena tak ditopang oleh infrastruktur dan kebijakan yang solid.

Prof. Rossanto juga menyoroti potensi ketidakadilan dalam kebijakan ini. Minimarket bukan satu-satunya usaha dengan lahan parkir terbuka. Jika hanya mereka yang disasar, maka publik bisa menilai adanya praktik tebang pilih.

“Banyak minimarket skala kecil dan mandiri yang tidak tergabung dalam jaringan besar. Jika diperlakukan sama tanpa melihat skala usaha, tentu akan memberatkan pelaku UMKM,” tuturnya.

Ia menjelaskan inti persoalan justru terletak pada absennya sistem parkir yang transparan dan akuntabel.

“Selama ini pemerintah memungut pajak parkir, tapi tidak memiliki sistem untuk menghitung jumlah kendaraan atau nilai transaksi secara valid,” jelasnya.

Alih-alih menempuh jalur sanksi, Prof. Rossanto menawarkan tiga alternatif solusi yang bisa diterapkan.

Pertama, kerja sama dengan penyedia jasa parkir profesional berbasis teknologi, agar parkir tetap gratis untuk masyarakat, dan pajak dihitung dari data aktual.

Kedua, sistem retribusi resmi oleh juru parkir yang ditunjuk pemerintah, dengan tarif wajar dan transparan.

Ketiga, retribusi dibayar oleh pemilik usaha (minimarket), bukan masyarakat, namun skema ini dinilainya kurang ideal karena berpotensi menaikkan harga barang.

“Dengan pendekatan teknologi dan kolaborasi, parkir bisa tetap gratis bagi pengguna, tanpa membebani minimarket secara sepihak,” ungkapnya.

Di samping itu, ia juga menekankankejelasan arah kebijakan sangat penting. Jika pemerintah ingin menjamin parkir gratis, maka harus ada insentif dan sistem pendukung bagi pelaku usaha. Jika ingin menarik penerimaan pajak, maka pelaporan transaksi parkir harus transparan dan sistematis.

“Surabaya adalah kota jasa dan perdagangan. Kebijakan publik seharusnya mendukung iklim usaha, bukan memperumitnya. Solusi yang adil hanya bisa lahir dari proses kolaboratif antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat,” pungkasnya. (*)

Reporter: Amanah
Editor : Lutfiyu Handi

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.