
SURABAYA (Lentera) -Seorang penumpang pesawat Air India, Ramesh Vivakushmar (40), menjadi satu-satunya penyintas atau korban selamat dalam tragedi jatuhnya pesawat di Ahmedabad, Hindia pada Kamis (12/6/2025).
Dikelilingi jasad penumpang lain yang sudah tak bernyawa, Ramesh mampu terbangun di antara puing-puing hingga berhasil berjalan menyelamatkan diri.
Selamat dari bencana besar adalah sebuah anugerah yang patut disyukuri.
Namun bagi sebagian orang, selamat sendirian bisa menjadi awal dari rasa bersalah yang menghantui. Dalam psikologi, kondisi ini dikenal sebagai survivor syndrome atau survivor’s guilt.
Apa itu survivor syndrome?
Psikolog dari Klinik SAJIVA RSKJ Dharmawangsa, Mira Damayanti Amir, S.Psi., menjelaskan, survivor syndrome merupakan kondisi psikologis ketika seseorang merasa bersalah karena bisa selamat dari situasi yang membahayakan nyawa, sementara orang lain tidak.
“Bentuk dari survivor syndrome ini salah satunya adalah perasaan bersalah, 'Kenapa aku yang selamat?',” ujar Mira, Jumat (13/6/2025).
Mira menambahkan, survivor syndrome umum dialami oleh orang-orang yang mengalami bencana, kecelakaan besar, hingga perang. Emosi yang muncul bisa kompleks dan membingungkan.
“Bahkan terkadang dia merasa tidak layak untuk hidup. Dia merasa dirinya tidak cukup baik untuk selamat,” ujar Mira.
Gejala survivor syndrome
Survivor syndrome tidak hanya membuat seseorang sedih atau trauma, tetapi juga dapat menimbulkan gejala psikologis yang cukup serius, seperti:
- Rasa bersalah yang berlebihan
- Penarikan diri dari lingkungan sosial
- Kehilangan minat terhadap kehidupan
- Sulit menerima kenyataan bahwa dirinya selamat
- Kecemasan atau depresi yang menetap
“Mereka sering mempertanyakan, ‘Kenapa bukan aku yang mati?’, bahkan sampai merasa tidak pantas mendapatkan kebahagiaan setelah kejadian itu,” kata Mira.
Kenapa survivor syndrome bisa muncul?
Menurut Mira, latar belakang nilai budaya turut memengaruhi bagaimana seseorang menyikapi situasi ini. Orang yang dibesarkan dengan nilai moral kolektif bisa jadi lebih rentan mengalami survivor syndrome.
“Misalnya orang yang dari kecil diajarkan bahwa lebih baik berkorban untuk orang lain, tidak mementingkan diri sendiri. Ketika dia selamat lebih dulu, dia merasa bersalah karena dianggap tidak memikirkan orang lain,” jelasnya.
Haruskah merasa bersalah karena selamat?
Menurut Mira, rasa bersalah adalah bagian dari reaksi emosional yang alami. Namun, penting untuk memahami bahwa selamat bukanlah kesalahan.
“Perasaan bersalah itu valid, tetapi itu tidak berarti dia tidak pantas untuk hidup atau bahagia,” ujar Mira, mengutip Kompas.
Cara mengatasi survivor syndrome
Mira menyarankan beberapa langkah yang bisa membantu seseorang memulihkan diri dari survivor syndrome:
- Mengakui dan menerima perasaan yang muncul
Jangan menolak rasa bersalah, tapi kenali bahwa emosi itu valid dan bisa diproses.
- Mencari bantuan profesional
“Kalau perasaan ini mengganggu secara berlebihan, sebaiknya berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater,” kata Mira.
- Menguatkan koneksi sosial
Bercerita dengan orang yang dipercaya bisa membantu meringankan beban.
- Memberi makna baru dalam hidup
Melibatkan diri dalam aktivitas yang berdampak positif bisa membantu seseorang bangkit dari trauma.
Peran keluarga dan dukungan sekitar
Dalam proses pemulihan survivor syndrome, peran orang terdekat sangat penting. Dukungan dari keluarga, teman, atau komunitas bisa memberikan rasa aman dan menumbuhkan kembali semangat hidup.
“Keberadaan orang-orang yang mendengarkan tanpa menghakimi, memberi pelukan, atau sekadar hadir bisa sangat membantu proses healing,” ujar Mira.
Mereka yang selamat dari tragedi membutuhkan ruang untuk merasa diterima, bukan dihakimi. Karena bagi yang penyintas, terkadang yang paling dibutuhkan bukan jawaban, melainkan dukungan untuk terus melangkah (*)
Editor: Arifin BH