
OPINI (Lentera) -Tulisan ini dimaksudkan untuk literasi publik tentang korupsi-manipulasi nan canggih, terinspirasi dari berita viral yang mengejutkan tentang dugaan ‘manipulasi’ Raja Ampat. Entah benar entah tidak, tetapi tulisan ini adalah pembelajaran literasi kritis publik terhadap aspek korupsi-manipulasi.
Dimulai dengan pemahaman sekilas hubungan korupsi dan manipulasi, bukan paham birokrat yang robotic-textual UU-peraturan, tetapi lebih ke makna-hakekat. Perkembangan korupsi-manipulasi yang masuk ranah kecanggihan luar biasa, baru bisa dipahami dengan logika hakekat.
Korupsi dan manipulasi memiliki hubungan yang erat, korupsi adalah penggerak manipulasi dan manipulasi adalah instrumen korupsi. Manipulasi sering menggunakan data atau dokumen juga kebijakan untuk menyembunyikan tindak pidana korupsi, guna memanipulasi opini publik untuk menutupi praktik korupsi yang terjadi.
Kalau kejahatan kerah biru adalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang kelas pekerja, melibatkan tindakan vulgar atau tindakan ilegal yang langsung dan dapat dilihat dengan mudah; maka kejahatan kerah putih adalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang berpengaruh atau berstatus tinggi dalam pekerjaan mereka, seringkali melibatkan penipuan, korupsi, atau kecurangan keuangan.
Mengapa kemudian tindak pidana korupsi-manipulasi yang bersifat kejahatan kerah putih dikaitkan hakekatnya dengan teori fisika quantum yang super canggih yang baru beberapa tahun belakangan dikenal manusia, dan masih terus dikembangkan karena banyak misteri yang belum terungkap? Karena korupsi-manipulasi kejahatan kerah putih sudah super canggih dan juga masih menyisakan banyak misteri.
Lalu apa itu prinsip teori quantum yang relevan dengan tulisan ini? Ada dua dalil dalam teori quantum yang perlu diketahui:
Pertama, dalil ‘superposisi quantum’ dimana suatu partikel dapat berada dalam beberapa keadaan sekaligus. Bayangkan sebuah koin dua sisi yang dapat berada dalam keadaan "kepala" dan "ekor" secara bersamaan, sampai koin tersebut diukur atau diamati.
Kedua, dalil keterkaitan ‘entanglement quantum’ adalah fenomena di mana dua atau lebih partikel saling terkait erat, sehingga keadaan satu partikel dapat langsung mempengaruhi keadaan (tercermin pada) partikel lainnya, meskipun mereka terpisah oleh jarak yang jauh. Tidak ada transfer informasi atau sinyal fisik (semacam telepati?). “Keterkaitan partikel” ini memungkinkan suatu komputer melakukan proses komputasi amat sangat cepat (mendekati real time?).
Gempa dalam Kesunyian.
Temuan pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, meski ‘katanya’ relatif berjarak dari jantung geo-park dunia, telah mengguncang kesadaran publik yang sekian lama dibuai ketidaktahuan (tak terinformasi), ketidak pedulian dan mungkin kebodohan. Berbagai bahasan di media, ada dugaan bahwa pemberian ‘obral’ ijin pertambangan dibawah dalih nasionalisme ‘hilirisasi strategis’, ijinnya dikeluarkan penguasa sejak 2017.
Prosesnya tidak banyak diketahui, ibarat fenomena quantum yang berlangsung dalam skala mikroskopis (sangat kecil-atom) tetapi mempunyai dampak yang sangat luas dalam melibatkan berbagai ‘partikel-partikel lain meski berjarak jauh. Dari (hanya) satu inti atom, elektron mengorbit dalam keadaan superposisi, lalu efeknya meluas pada banyak partikel lainnya sebagai ‘cerminan dan keterikatan kuat’ perilaku satu inti atom yang mula-mula, melalui konsep ‘entanglement-keterkaitan’, partikel dapat berada dalam beberapa keadaan secara bersamaan.
Analogi fenomena quantum ini pada kasus pertambangan-hilirisasi bisa dimaknai bahwa keberadaan partikel pada ‘inti kekuasaan’ juga dalam waktu bersamaan bisa berada pada keberadaan partikel pada lingkar pengaruh yang didesain dalam konsep ‘entanglement’. Untuk mudah dimengerti, sebagai contoh orang-orang yang di inti kekuasaan pada saat yang sama bisa berada pada lingkar pengaruh (yaitu operasi bisnis pertambangan-hilirisasi); sulit diamati jelas karena kondisi superposisi, tetapi baru bisa diketahui posisinya saat diamati.
Artinya pejabat A dalam pemerintahan bisa berada dalam posisi otorisator dan operator bisnis dalam saat bersamaan. Dan baru diketahui sebagai ‘apa’ ketika momen tertentu, entah sebagai pejabat atau pebisnis. Maka dalam konteks quantum, proses dan operasi pertambangan-hilirisasi tidak ada lagi kendala (constraint) yang disebut “conflict of interest’; mungkin semuanya dikemas dalam narasi heroik nasionalisme untuk kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat.
Seandainya proses perwujudan kebijakan ‘hilirisasi-pertambangan’ ada korupsi-manipulasi yang bersifat ‘kerah putih’, maka dalam konteks quantum, adalah skema non-konvensional. Seandainya memang ada korupsi-manipulasi di pertambangan-hilirisasi, ia bukan korupsi tradisional ala fisika Newton yang terlihat, terukur dan linear, tetapi benar-benar model fisika kuantum korupsi-manipulasi.
Mungkin, penjabaran skemanya secara teoritik bisa dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, terjadi superposisi kepentingan, dimana kebijakan hilirisasi (yang kepentingan publik) berada dalam keadaan superposisi dengan kepentingan oligarki. Keduanya "benar" secara resmi sampai "pengamatan" (investigasi) memaksa sistem "runtuh" ke satu keadaan (biasanya mengungkap dominasi oligarki). Hal ini analog dengan konsep kucing: Schrödinger's Cat, hidup dan mati bersamaan hingga bisa diamati.
Kedua, keterkaitan (entanglement), dimana keputusan di lingkaran kekuasaan tertinggi (otoriter) terentang secara instan dengan konsesi di wilayah pertambangan-hilirisasi, dalam bentuk keuntungan oligarki di Jakarta, dan aliran modal ke mitra asing. Mengusik satu elemen saja dari keterkaitan ini akan mengguncang seluruh jaringan.
Ketiga, lompatan quantum (Quantum Leap), dimana nilai konsesi dan keuntungan strategis yang "sangat besar" memungkinkan lompatan kualitatif dalam metode korupsi, bukan lagi mark-up proyek, tapi rekayasa kebijakan, distorsi perizinan, dan pengaburan hitung-hitungan negara secara sistemik.
Pilar Ekosistem Korupsi-Manipulasi Quantum.
Ada tiga pilar aktor yang membentuk ekosistem (simbiosis gelap-sunyi) korupsi-manipulasi quantum:
Pertama, aktor oligarki ekstraktif (sang pemilik modal). Sekelompok kecil pemilik modal yang menguasai sektor strategis (SDA) yang menurut Jeffrey Winters (Oligarchy, 2011), memiliki kapasitas luar biasa untuk mempertahankan kekayaan dan mempengaruhi negara. Dalam konteks nikel dll, mereka bukan sekadar pengusaha tambang, tapi arsitek kebijakan yang mengarahkan hilirisasi untuk konsentrasi kekayaan. Izin, konsesi, dan perhitungan keuntungan yang "sangat besar" adalah medan mangsa mereka.
Kedua, aktor kekuasaan otoriter (sang pengendali politik), dimana kekuasaan yang terpusat dan minim akuntabilitas memudahkan oligarki mengakses "lingkaran-1". Ini terkait dengan model otoritarianisme elektoral (Steven Levitsky & Lucan Way, 2010) yang menunjukkan bagaimana rezim mempertahankan kekuasaan sambil memberi akses istimewa pada sekutu bisnis. Kebijakan strategis seperti hilirisasi menjadi alat legitimasi sekaligus kanal bagi patronase dan korupsi terselubung jika pengawasan lemah, pengadilan tumpul, dan Parlemen tidak berdaya.
Ketiga, komprador (sang perantara asing), yaitu aktor lokal yang menjadi ‘kaki-tangan’ modal asing besar. Konsep komprador dari teori ketergantungan (Andre Gunder Frank) menggambarkan bagaimana borjuasi lokal (makelar intelek?) yang hidup dari menjembatani eksploitasi SDA oleh kapital asing. Dalam ekosistem korupsi quantum, mereka memfasilitasi alih teknologi, pemasaran, atau pendanaan asing yang "dibutuhkan" hilirisasi, tetapi dengan skema transfer pricing, utang berbunga tinggi, atau konsesi menguntungkan asing yang menyedot keuntungan nasional. Mereka "menterjemahkan" kepentingan asing ke dalam kebijakan lokal via oligarki dan kekuasaan.
Hilirisasi: Mantel Legitimasi untuk Eksploitasi Quantum.
Hilirisasi meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri adalah tujuan mulia. Namun, dalam ekosistem korupsi quantum, ia menjadi mantel legitimasi sempurna. Alasannya "untuk hilirisasi, kita butuh investasi besar dan cepat!", digunakan untuk pangkas proses AMDAL, melemahkan partisipasi masyarakat adat, serta memberi insentif fiskal berlebihan.
Narasi kerumitan dimana proyek hilirisasi itu kompleks bisa memudarkan transparansi perhitungan keuntungan negara, menyembunyikan mark-up, alih biaya. Keterlibatan asing, didasarkan kebutuhan teknologi/modal asing, dan bisa menjadi pintu masuk komprador dan skema pengalihan keuntungan (transfer pricing, biaya lisensi gila-gilaan jika tidak diaudit).
Hati Rakyat Nan Merana
Mengamati konsep kucing: Schrodinger’s Cat pada potensi korupsi,
kasus potensial pertambangan-hilirisasi seperti Raja Ampat dan kawasan lain, mungkin terjadi korupsi-manipulasi sistemik, bukan sebatas dugaan korupsi proyek. Ini adalah perwujudan korupsi quantum di mana negara, oligarki, dan komprador asing terjerat dalam superposisi kepentingan yang mengaburkan batas legal-ilegal, nasional-asing, dan untung-rugi negara.
Hilirisasi menjadi medan pertaruhan besar: akankah ia menjadi motor kedaulatan industri, atau justru kanal terbesar perampokan quantum sumber daya oleh segelintir oligarki dan komprador yang bersimbiosis dengan kekuasaan otoriter?
Mengungkapnya membutuhkan "pengamatan" (investigasi) yang setara dengan energi quantumnya: independen, tanpa rasa takut, dan didukung instrumen hukum serta kelembagaan anti-korupsi yang jauh lebih kuat dari yang ada sekarang. Jika tidak, kucing dalam kotak itu akan tetap dalam keadaan mati-hidup selamanya: rakyat mati pelan-pelan, sementara oligarki hidup dalam kemewahan yang diambil dari perut bumi Nusantara.
Mudah-mudahan elit partai yang baik dan berintegritas, para mahasiswa, generasi muda, para pemuka agama dan tokoh masyarakat mau membaca tulisan ini dan tergugah hati dan jiwa patriotismenya. Kalau tidak mau, mungkin ini bisa jadi tanda-tanda datangnya kiamat.
Wallahualam.
Penulis: Hadi Prasetya, pengamat sosial - ekonomi|Editor: Arifin BH