
SURABAYA (Lentera) — Hari Buruh Internasional (May Day) diperingati setiap tanggal 1 Mei. Di momen ini, Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. Sutinah Dra., MS, menyoroti masih banyaknya pekerjaan rumah dalam mewujudkan kesejahteraan pekerja di Indonesia yang belum merata.
Meski pemerintah telah menaikkan upah minimum nasional sebesar 6,5 persen pada 2025 dan memberi perhatian pada jaminan sosial, ketimpangan upah, praktik outsourcing, dan lemahnya perlindungan hak pekerja masih menjadi persoalan serius.
Prof. Sutinah berpendapat bahwa peran pemerintah belum optimal. “Secara nasional memang upah naik, tetapi tidak merata di seluruh provinsi. Bahkan, masih ada upah minimum di bawah dua juta. Selain itu, UU Cipta Kerja masih banyak dikritik oleh serikat buruh karena dinilai mengurangi hak pekerja, seperti fleksibilitas outsourcing dan penghapusan cuti panjang wajib," ungkapnya, Kamis (1/5/2025).
Ia juga menjelaskan tantangan dalam memperjuangkan kesejahteraan buruh, khususnya buruh outsourcing. Posisi tawar buruh yang rendah dan tidak tergabung dalam serikat pekerja berdampak pada lemahnya kekuatan kolektif.
Lemahnya kekuatan kolektif ini membuat para buruh outsourcing mengalami kendala dalam negosiasi upah atau kondisi kerjanya. Para buruh ini juga tidak berani bersuara kritis karena khawatir kontraknya tidak diperpanjang.
Selain itu, Prof Sutinah menyoroti tidak adanya jaminan bagi beberapa jenis buruh. “Sistem outsourcing, kerja kontrak, dan gig economy menjadikan buruh tidak memiliki kepastian kerja, tunjangan, dan jaminan sosial. Ada juga perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS dan sebagainya,” jelasnya.
Melihat kondisi pemerintahan dan ekonomi saat ini, Prof Sutinah menilai kesejahteraan buruh masih berada dalam tahap yang sangat krusial. Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang sempat terjadi menjelang Hari Raya Idul Fitri lalu menunjukkan adanya permasalahan.
Beberapa kebijakan pemerintah juga lebih pro-investor, bukan pro-pekerja. Selain itu, masih terdapat perusahaan yang membayar upah di bawah standar yang pemerintah tetapkan.
Merespons berbagai tantangan tersebut, Prof Sutinah menekankan perjuangan buruh memerlukan kolaborasi antara serikat buruh, pemerintah, dan masyarakat sipil.
“Masyarakat harus menjadi konsumen yang teliti dengan tidak membeli produk perusahaan yang sering melakukan PHK massal, mempekerjakan anak, dan perusahaan yang buruhnya sering melakukan unjuk rasa. Perlu adanya peningkatan kesadaran, solidaritas, dan advokasi kebijakan yang kuat," tutupnya. (*)
Reporter: Amanah
Editor : Lutfiyu Handi