20 April 2025

Get In Touch

NABA’ NASA

NABA’ NASA

Gus Adhim
Pimpinan Ponpes SPMAA Sumatera Selatan

Januari lalu, saya diundang ke acara workshop pendidikan internasional yang diselenggarakan kampus swasta di Surabaya. Pembicara utama dihadirkan dari Finlandia yang mengisahkan praktik-praktik terbaik pedagogik mereka. Diakui dunia, dalam urutan penilaian hasil belajar standar PISA, Finlandia menempati skor tinggi.

Namun saya justru tertarik pada pemaparan pemateri lokal Surabaya yang merefleksikan renungan pembelajaran kekinian. Satu diantara pemateri yang saya catat dan ingat itu Prof. DR. Muslimin Ibrahim dari Unesa Surabaya. Saya kutip pernyataannya, “Al Quran diturunkan di Arab, dimusabaqahkan di Indonesia, diterapkan di Jepang.”

Bagi saya pribadi yang saat ini masih nyantri, pernyataan tersebut seperti cambukan pengejut. Bila diarifi hati-hati dan logika refleksi santri, ucapan Profesor ini patut direnungi. Kita kaum santri yang mengakrabi literasi Qurani setiap hari, terkadang gamang dalam terapan pelaksanaan.

Sederhana saja, contoh praktik thoharoh pelaksanaan kebersihan lingkungan. Jujur harus diakui kita masih kalah disiplin dengan kebudayaan masyarakat Jepang yang sangat ketat urusan persampahan.

Kita hapal potongan dalil Innallaaha yuhibbut-thawwaabiin wa yuhibbul-mutathohhiriin. “Allah mencintai orang yang bertaubat dan orang yang suka kebersihan.” Namun pelaksanaan harian dari dalil ini, saat di asrama hunian maupun saat mudik ke kampung halaman, masih belum konsisten sinambungan. Masih banyak sampah berserak dan kita kerap mengabaikannya –alih-alih beramal jariyah sedekah bersih-bersih sampah.

Perkara lomba membaca, adu ilmu nahwu, musabaqah tilawah, tadarus tahfidz 30 juz, debat ayat di meja wacana, saya sangat percaya kita cepat juara. Bahkan level dunia tingkatan pialanya. Tapi ketika direfleksi pada perilaku sehari-hari, hapalan dan pemaknaan Quran kita kerap tergagap. Kurang siap dan kalah balap sama negara yang justru terkenalnya agnostik tidak beragama. Contohnya Jepang dan Finlandia.

Jika boleh nambahi narasi Prof. Muslimin tadi, saya ingin merefleksi negeri kibat teknologi dan pencapaian pengetahuan terkini; Amerika. Terutama dari berita prestasi karya mereka yang mengudara menguasai dunia.

Saat kita masih ribut adu mulut soal penetapan tanggal hari raya, Amerika sudah belajar survival di luar angkasa lewat perantara percobaan astronot dan ilmuwan NASA. Ketika tentara di negara ketiga sibuk mengurusi komoditi bisnis separatis dalam negeri, Amerika bersama NASA sudah membentuk angkatan keenam, matra luar angkasa United States Space Force. Baru diresmikan Desember 2019 kemarin oleh Presiden Trump.

Sejak beberapa dasawarsa mata NASA lewat satelit di orbit langit senantiasa melihat apa yang belum kita lihat. Lensa kamera Hubble juga bercerita bahwa ada puzzle karya ilahiah yang tak terhingga jumlahnya. Itupun belum sepernol sekian semesta ALLAH SWT yang dijangkau penginderaan mereka.

Saya teringat pada bacaan tadarusan al Quran yang biasa dikhatami santri di sepuluh terakhir Ramadhan ini, terutama juz 30. Diawali surat An Naba yang mengorbit informasi langit berisikan ayat gugat dan perkabaran kiamat akhirat.

Sepemahaman saya, Naba’ yang berarti “berita”, sesungguhnya sumber kode buat kita, santri khususnya, untuk bisa memecahkan sandi surat ini ke dalam praktik hidup yang terbaik dan murup. Bervisi ukhrowi, berdimensi bumi. Kalimat “naba il adhiim” bermakna berita besar tentang penciptaan langit bumi, termasuk di dalamnya, mukjizat al Quran yang relevan sepanjang jaman.

Termasuk informasi di surat-surat lanjutan Juz Amma yang memuat banyak berserak berita angkasa. Sayangnya perkara istimewa dan narasi ilahi naba’ besar ini hanya berhenti ditadarusi santri. Justru sinau terampil NASA yang ngelmu berhasil memecahkan kodenya. Sampai mereka perlu segera membentuk pasukan khusus antariksa untuk proyeksi penguasaan sumberdaya di sana.

Saya mengikuti informasi laman berita NASA. Update terbaru temuan mereka kian meyakinkan saya tentang wisma desa beraneka wahana menyebar di quasar antar interstellar. Saya kemudian menemukan betapa kehidupan dunia akhirat teraba sangat dekat. Bersenyawa di langit bumi yang kita tempati sekarang ini. Melekat erat persis kulit pisang dan isi pisang, sebagaimana perumpamaan yang diberikan Bapak Guru Muchtar, guru hidup saya.

Membaca ayat juz Amma dan surat Naba, saya menemukan selaksa pengetahuan yang selalu baru. Terutama ayat-ayat yang dekat dengan habitat kita bertempat. Tentang gunung, kebun, sumber air, pasangan kerumahtanggaan, hari-hari pasti terjadi, terutama negeri akhirat yang dibuka prosesi kiamat.

Saya sama sekali tidak njumbul keheranan atau nyundul kagetan dengan temuan NASA. Pun saya tidak kuatir USSC (united states space command) menguasai antariksa. Sebab mereka masih mbulet ruwet di orbit dekat langit, dimensinya dunia yang fana dan akan sirna hancur saat yauma yunfakhu fis-shuur.

Maka saya mengajak keluarga muslim semua, santri khususnya, tadarus juz Amma dan baca An Naba di sepuluh akhir Ramadhan ini, ayo ditadabburi diseriusi. Ada semilyaribu titik berserak menunggu pemilik hak. Planet surga akhirat yang dipaket untuk kita penyahadat Rasulullaah Muhammad.

Ayo bergegas kembali bersua cerdas ilahi. Jika percaya agama dan cinta RasulNYA; bekerjalah, cari maisyah, bangun rumah dan berkeluarga sakinah dengan giat semangat melihat persiapan kebutuhan akhirat.
Tuku sapi katutan tali. Beramal sosial investasi ukhrowi, insyaAllah rejeki dunia setiap hari ada bersahaja dicukupiNYA.

Begitu cara kita mengindera surga; mentadarusi anNaba, bila mata kita belum bisa mencoba kamera satelitnya NASA. Supaya khataman al Quran kita tidak kian ketinggalan dengan terapan keilmuan Amerika, Jepang dan Finlandia.(*)

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.