
MALANG (Lenteratoday) – Jaringan Lintas Isu (JATI) Malang Raya mengungkap, masih menemukan beberapa perlakuan diskriminatif terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHIV), terlebih pada Anak Dengan HIV/AIDS (ADHA) di Kota Malang. Hal tersebut seolah berseberangan dengan misi ke-3 Pemerintah Kota (Pemkot) Malang, yakni “Menjadikan kota yang rukun dan toleran, berazazkan keberagaman, dan keberpihakan terhadap masyarakat rentan dan gender.”
Perwakilan JATI Malang Raya, Rika Wanda mengakatan, kurangnya edukasi dan informasi mengenai HIV/AIDS menjadi faktor maraknya kasus diskriminatif terhadap ADHA di Kota Malang. Bahkan, JATI Malang Raya menemukan adanya kesalahan informasi yang diperoleh siswa atas kasus HIV/AIDS, saat melakukan sosialisasi di salah satu SMA Negeri di Kota Malang.
“Penangan kasus HIVnya ya ditemukan, diobati, tapi yang jadi persoalan, tidak ada edukasi di anak-anak sekolah. Kemarin itu kami sosialisasi di salah satu SMA negeri di Kota Malang, nah itu mereka mengaku kalau dapat info dari BNN. Bahwa ODHIV itu kebanyakan orang-orang yang punya masalah di masa lalu,” ungkap perwakilan JATI Malang Raya, Rika Wanda, ditemui usai melangsungkan aksi damai pada peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS), Kamis (1/12/2022).
Rika kemudian mengatakan, salah satu guru di sekolah tersebut telah menyampaikan informasi yang keliru tentang ODHIV. Sehingga, informasi tersebut menambah stigma negatif mengenai HIV/AIDS di masyarakat.
“Katanya orang dengan HIV biasanya kurus kering. Padahal itu tidak benar. Karena ketika ODHIV sudah melakukan pengobatan, maka mereka bisa beraktivitas normal. Bisa punya anak dengan status HIV negatif. Tidak ada bedanya dengan orang-orang yang sehat,” serunya.
Lebih lanjut, Rika menjelaskan mengenai perlakuan diskriminasi yang diterima oleh salah satu ADHA di Kota Malang. Dikatakannya bahwa siswa tersebut bahkan sempat tidak diperbolehkan untuk mengambil air wudhu, oleh salah satu oknum guru.
“Di Kota Malang ini masih ada anak-anak yang ketika sekolah, kemudian status HIV nya diketahui oleh wali kelas, kemudian oleh gurunya. Bahkan oleh gurunya pernah tidak diperbolehkan untuk mengambil air wudhu,” tuturnya.
Mengetahui adanya diskriminasi yang dialami siswa di salah satu sekolah di Kota Malang. Rika mengaku bahwa pihak JATI Malang Raya hadir untuk memberikan dampingan hukum, bersama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada siswa tersebut.
“Kami juga yang mengadvokasi dengan teman-teman dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Memang anak-anak ini bisa kembali sekolah. Tapi kan mentalnya sudah berubah. Status HIV nya sudah diketahui satu lingkungan sekolah. Cuma karena diurut urutkan dengan persoalan sosial, jadinya panjang rentetannya,” jlentreh wanita yang juga bagian dari Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) ini.
Disisi lain, Rika menyampaikan banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengubah stigma negatif ODHIV, yang terlanjur melekat di masyarakat. Pertama, perlu untuk seluruh stakeholder terkait agar dapat terlibat dan berperan dalam mitigasi HIV/AIDS. Tidak hanya masyarakat, sambungnya, namun juga keterlibatan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, hingga Dinas Pendidikan Kota Malang.
“Semua lintas sektor harus berperan. Mulai dari masyarakat, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial. Tapi yang terjadi selama ini mereka masih ping-pongan. Istilahnya masih lempar-lemparan tugas,” imbuhnya.
Rika menyampaikan, para dinas terkait seharusnya dapat berperan untuk menanggulangi stigma negatif tersebut. Misalnya dimulai dari Dikbud, dengan peranan edukasinya untuk membuat kurikulum terkait pencegahan HIV.
“Karena stakeholdernya tidak ada yang berperan satu sama lain. Jadi mereka masih menganggap bahwa isu HIV itu isu kesehatan, miliknya Dinkes. Padahal kan gak gitu. Bagaimana dengan edukasinya? itu perlu peran Dikbud. Mereka harusnya memberikan kurikulum pendidikan tentang bagaimana cara mencegah HIV,” pungkasnya.
Diakhir, Rika menekankan kepada masyarakat untuk tidak semakin menyebar stigma negatif terhadap ODHIV maupun ADHA. Ia juga menegaskan bahwa penularan HIV sangat sulit, yang artinya virus tidak menular melalui udara, air, keringat, air mata, air liur, gigitan nyamuk, atau sentuhan fisik. (*)
Reporter: Santi Wahyu | Editor: Widyawati