
SURABAYA (Lenteratoday) - Polemik yang terjadi dari pembentukan Dewan Kesenian Kota Surabaya (DKKS) memunculkan keprihatinan mendalam atas sikap Walikota Surabaya Eri Cahyadi yang memicu munculnya dualisme Dewan Kesenian di Surabaya. Sekjen Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Luhur Kayungga menyampaikan keprihatinan ini usai menguraikan kejelasan keberadaan DKS yang sempat disebut tidak ada oleh pihak DKKS.
Luhur mengungkapkan, setelah pemilihan ketua DKS pada akhir 2019, Chrisman Hadi terpilih lagi menjadi Ketua DKS. “Saat itu, DKS telah berencana mengajukan legalitas kepada Pemkot Surabaya, namun saat itu tengah menjelang pergantian walikota. Dengan pertimbangan, untuk memberi penghormatan kepada walikota yang baru, maka pengajuan legalitas ditunda seusai dilantiknya walikota yang baru. Namun usai dilantiknya Eri Cahyadi sebagai walikota Surabaya yang baru, pandemi covid menyerang,” ucapnya, Sabtu (11/6/2022).
Pandemi covid 19 ini membuat pengurus DKS kembali membatalkan pengajuan legalitas kepada Pemkot Surabaya. Mengingat semua urusan yang bukan menyangkut makanan dan kesehatan atau kebutuhan dasar hidup manusia diharuskan ditunda sebagaimana ditetapkan dalam peraturan Inmendagri tentang PPKM. Tak ada alasan bagi pihak DKS untuk memaksakan diri mengajukan legalitas di tengah kejadian force major pandemi covid 19.
Sekjen DKS, Luhur Kayungga.
Usai pandemi mereda, pihak pengurus DKS kembali berupaya mengajukan legalitas tersebut, dengan menemui Walikota Eri pada sebuah pertemuan kegiatan Kapolres Surabaya beberapa waktu lalu. Namun karena dalam musyawarah sebelumnya dianggap ada pro-kontra terkait kepengurusan DKS, Eri meminta Ketua Pusura, Abdullah atau biasa disebut Cak Dullah, untuk melakukan mediasi konflik tersebut.
Dalam pertemuan yang terjadi dengan Cak Dullah, DKS memberikan keterangan lengkap untuk dilaporkan kepada Walikota Eri. Cak Dullah lantas memediasi pertemuan selanjutnya dengan pihak Pemkot Surabaya.
“Sebelumnya, Cak Dullah meminta Suro untuk dimasukkan dalam tim Pengurus DKS. Meski agak keberatan dengan permintaan itu, karena track record Suro yang dinilai kurang baik oleh sejumlah pihak, namun DKS menerima apabila hal itu perintah dari Cak Dullah, tetapi Cak Dullah sendiri keberatan apabila nantinya ada konsekuensi yang harus dia tanggung dari memasukkan nama Suro dalam kepengurusan DKS ini,” papar Eri.
Suro sendiri sebelumnya adalah kandidat kedua yang memperoleh suara lebih sedikit daripada Chrisman Hadi pada saat pemilihan Ketua DKS. Dikatakan Dullah, Suro sebagai orang dekat Walikota Eri, karena Suro sebagai relawan pendukung Eri Cahyadi di masa pemilihan walikota Surabaya.
Terkait mandat yang dipegang Cak Dullah untuk memediasi persoalan tersebut, Cak Dullah menyampaikan adanya perintah dari Walikota Eri untuk segera memasukkan pengajuan legalitas. Namun pengajuan legalitas ini ditolak oleh Sekda Kota Surabaya, Hendro Gunawan. Dengan alasan, seharusnya pengajuan legalitas diajukan jauh – jauh hari sebelumnya, karena disparitas waktu yang panjang itu, Sekda Hendro menolak pengajuan.
“Bila masalah penolakan adalah disparitas waktu , maka seharusnya Pemkot melakukan musyawarah ulang. Bukan hanya menolak begitu saja,” ucap Luhur.
Setelah penolakan itu, DKS melakukan somasi, lantas diadakan hearing di DPRD Kota Surabaya. Namun di saat hearing pada akhir Mei lalu, Sekda Hendro Gunawan tampak tergesa-gesa meninggalkan ruangan, padahal acara hearing baru dimulai. Meski pejabat pemkot saat itu sempat menjanjikan untuk membahas masalah DKS ini secara non formal. Namun hal itu tak kunjung terwujud.
Setelah beberapa lama, akhirnya dilakukan pertemuan di Café Balai Pemuda. Namun dalam pertemuan tersebut, pihak Pemkot tetap menyatakan menolak pengajuan legalitas.
Usai moment tersebut, pihak DKS baru mengetahui Cak Dullah menggelar kegiatan musyawarah pemilihan Ketua DKS, dan memilih Suro sebagai Ketua DKS.
Adanya musyawarah DKKS dengan kehadiran 48 dari 121 undangan, sudah tidak memenuhi kuorum. Dari yang hadir itu pun Suro hanya memperoleh 22 suara, tidak mencapai 50 persen suara. Ditambah lagi, calon ketua hanya ada satu, yaitu Suro. Tidak bisa dianggap sah untuk sebuah pemilihan.
Adanya peristiwa ini jelas membuat seluruh pengurus DKS merasa prihatin, “ Sejak walikota petama Surbaya menunjukkan betapa besar kepedulian terhadap aktivitas kesenian para seniman di Kota Surabaya, dengan memberikan fasilitas ruang berkesenian di Balai Pemuda, hingga memunculkan sederet seniman besar, seperti Gombloh, Frangky dan lain lain. Kesejarahan ini mungkin diabaikan Eri, sebab baru kali ini terjadi Walikota menolak pengajuan legalitas DKS,“ ujar Luhur.
Sementara Ketua DKKS, Suro saat dikonfirmasi melemparkan urusan kepada Budi, dengan alasan sedang sibuk mempersiapkan formatur DKKS.
Budi lantas menuturkan pembentukan DKKS dikarenakan tidak adanya dewan kesenian di Surabaya. "Sebelumnya, tidak ada dewan kesenian di Kota Surabaya, sehingga Walikota memandatkan kami berlima untuk menyiapkan dengan membentuk Tim Pembentukan DKKS dengan persiapan selama sebulan lebih. Menyiapkan gedung, kelengkapan sidang, sampai dengan hari Jumat ( 10/6/2022) sesuai SK, terlaksana dengan lancar, cepat, beberapa jam tanpa hambatan. Hanya ada satu calon saja yang dipilih secara aklamasi. Formaturnya ada Mas Cok dari musik, dan pak abdulah sebagai pendamping ketua yang mengatur kepengurusan dalam waktu sebulan ini," ucap Budi, Minggu (12/6/2022)
Budi, salah satu anggota tim pembentukkan DKKS
Budi juga mengungkapkan dirinya tidak melihat adanya dualisme dewan kesenian. "Menurut saya, tidak ada dualisme, DKS itu kan milik Pemkot sejak jaman dahulu, selama ini tidak ada SK yang masuk dengan direstui oleh Pemkot, maka kami kemudian mempersiapkan musyawarah, dan terpilihnya Pak Suro itu,” lanjutnya.
"Misalkan ada dewan kesenian lain, ya tidak masalah. Sah-sah saja, semua untuk Surabaya," tambahnya.
Reporter : Miranti Nadya | Editor : Endang Pergiwati