Sidang PK Dugaan Kriminalisasi Advokat di Blitar, Kuasa Hukum Desak Segera Diputuskan

BLITAR (Lenteratoday) - Kuasa hukum advokat di Blitar yang diduga dikriminalisasi, mendesak agar keputusan Pengajuan Kembali (PK) segera diputuskan. Desakan ini disampaikan saat sidang permohonan PK, di Pengadilan Negeri (PN) Blitar kemarin sore.
Sidang permohonan PK yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Maimunsyah digelar molor hampir 5 jam dari jadwal semula jam 10.00 wib baru digelar jam 15.00 Wib. Hadir dalam sidang permohonan PK ini, dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Blitar. Sementara pemohon yakni JTM yang sedang menjalani vonis hukuman kasasi 6 bulan di Lapas Klas II B Blitar, hadir secara virtual.
Setelah dibuka oleh ketua majelis hakim, disampaikan jika permohonan PK oleh kuasa hukum terpidana JTM sudah disampaikan dan diterima semua pihak termasuk JPU tanpa dibacakan di persidangan.
Selanjutnya JPU menyampaikan pendapatnya atau kontra memori PK pada majelis hakim dan disepakati juga tidak dibaca pada persidangan atau dinyatakan sudah dibaca.
"Karena alasan permohonan PK bukan novum atau bukti baru, tapi kekhilafan hakim. Maka pemeriksaan sudah selesai, nanti ditandatangani berita acara pemeriksaannya," kata hakim Maimunsyah.
Selanjutnya nanti akan ada pendapat hakim, apakah permohonan PK sesuai pasal 263 ayat 2 KUHAP. Hakim menyatakan telah menerima permohonan PK dan kontra memori dari JPU maka sidang yang hanya berlangsung sekitar 30 menit ditutup.
Disampaikan kuasa hukum Joko Trisno Mudiyanto (JTM), Hendi Priono kalau pihaknya mendesak hakim PN Blitar, segera mengirimkan berkas PK ke Mahkamah Agung (MA). "Agar keputusan PK segera turun, karena vonis hukumannya hanya 6 bulan," ujar Hendi, Kamis(30/12/2021) sore.
Lebih lanjut Hendi menjelaskan alasan diajukannya PK, oleh terpidana JTM ada 8 alasan diantaranya : pertama, dibuatkan skema perkara, agar memudahkan majelia hakim pemeriksa PK untuk mengadili permohonan PK yang diajukan dan memutuskan dengan adil, dihadapan Tuhan YME, masyarakat dan Ilmu Hukum. "Kami jelaskan secara rinci dan lengkap, kronologis mulai awal laporan sampai terbitnya keputusan kasasi MA," jelasnya.
Kedua, alasan substansi pengajuan PK ini, karena kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari hakim kasasi. Dalam putusannya hakim kasasi menyatakan putusan hakim PN Blitar membebaskan terdakwa yang kini terpidana JTM tidak tepat. "Termasuk menyatakan laporan JTM tidak benar, dengan alasam dokter yang dilaporkan memiliki SIP Sementara tertanggal 12 September 2014. Padahal dilaporkan ke Polres Blitar Kota pada 19 Agustus 2014, pertimbangan ini sangat tidak cermat dan tidak masuk akal," ungkapnya.
Alasan ketiga, majelis hakim kasasi
seharusnya hanya menganalisa penerapan hukumnya, bukan mengubah atau
membuat fakta hukum baru. "Bahkan mempelintir fakta hukum, sesuai yang tertuang dengan jelas serta tegas di Pasal 253 KUHAP," tandasnya.
Keempat, majelis hakim kasasi seharusnya juga memperhatika UU No. 31 tahun 2014 tentang Perlindungan saksi dan korban (LPSK), dalam pasal 10 ayat 1 disebutkan Saksi, Korban, Saksi Pelaku dan/atau Pelapor tidak dapat
dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata. Kemudian alasan kelima, fakta hukum jika selama April - Agustus 2014 dokter yang dilaporkan praktik dengan SIP tidak berlaku atau kadaluarsa.
Lanjut alasan keenam, hakim PN Blitar yang mengadili terdakwa JTM menilai laporan/pemberitahuan/pengaduan Telah Dapat Dibuktikan kebenarannya secara materiil. Sehingga unsur Pasal esensial Pasal 317 KUHP yaitu "Dengan sengaja mengajukan pengaduan
atau pemberitahuan palsu kepada penguasa baik secara tertulis maupun
dituliskan” tidak terbukti menurut hukum.
Alasan ketujuh, laporan atau pengaduan JTM diproses, hingga persidangan dan ada putusan hakim. "Kalau laporannya fitnah dan laporan palsu, seharusnya PB Blitar dinyatakan ikut bermufakat melakukan kejahatan meloloskan fitnah," tegas Hendi.
Terakhir alasan kedelapan, dalam perkara dokter dengan SIP kadaluarsa, jika divonis bersalah hukumannya hanya denda. Serta tidak ditahan dan yang bertanggungjawab terkait pemulihan nama baik, harkat dan martabat adalah JPU. "Tapi kenapa justru pelapor yang dipidana atau dilaporkan balik, hingga menjadi pesakitan," pungkasnya. (*)
Reporter : Arief Sukaputra
Editor : Lutfiyu Handi