20 April 2025

Get In Touch

Sinkronisasi Data Vaksinasi, Dokter Kohar Ungkap Penyebab Perbedaan Data Pusat dan Daerah

Kohar Hari Santoso Ketua Gugus Tracing Penanganan Covid-19 Jawa Timur dan Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jatim. Foto: Istimewa
Kohar Hari Santoso Ketua Gugus Tracing Penanganan Covid-19 Jawa Timur dan Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jatim. Foto: Istimewa

SURABAYA (Lenteratoday) – Menyikapi perbedaan data vaksinasi baik yang ada di daerah maupun di pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Melakukan crosscheck dengan mengumpulkan perwakilan OPD di Jawa Timur untuk duduk bersama membahas sinkronisasi data.

Ketua Rumpun Tracing Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Dokter Kohar Hari Santoso mengatakan, rapat koordinasi itu untuk menyamakan data capaian vaksinasi dan stok vaksin di daerah dengan data yang tercatat di Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

“Ibu Gubernur (Khofifah) memberikan arahan untuk menyatukan data dan meminta kami buka pusat data di Grahadi, duduk bersama di sana bersama Dinkes, Kominfo, TNI/Polri agar satu data,” kata dr. Kohar, Senin (23/8/2021).

Pertemuan ini digelar setelah adanya kesimpang-siuran data vaksinasi di banyak daerah. Kemenkes telah mengumumkan tentang situs persediaan vaksin pada Kamis (19/8/2021) lalu, dan data ini di crosscheck dengan persediaan vaksin di kabupaten/kota di Jawa Timur.

Terutama stok vaksin, karena asumsinya, jumlah persediaan ini akan menunjukkan tingkat kepatuhan pemkab/pemkot kepada presiden yang meminta mereka segera menghabiskan stok vaksin yang masih ada.

Pada 19 Agustus lalu stok vaksin di Kabupaten Sidoarjo tercatat di laman Kemenkes tercatat sebanyak 173.340 dosis dan total dosis vaksin yang sudah disuntikkan sebanyak 631.180 dosis.

Namun, ternyata, data itu berbeda dengan yang dicatat Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo yang mencatat persediaan vaksin tidak sampai 100 ribu dosis dan total vaksin yang sudah mencapai 858.343 dosis.

Dokter Kohar menjelaskan, ini karena selama ini cara pemerintah pusat menghitung jumlah stok vaksin di setiap daerah berdasarkan jumlah vaksin yang didistribusikan dikurangi jumlah orang yang divaksinasi.

Masalahnya, kata dia, tidak semua gelaran vaksinasi berada di bawah koordinasi pemerintah daerah. Ada gelaran vaksinasi yang diadakan pihak luar, yang datanya tidak dilaporkan ke daerah.

Alhasil, data yang tercatat di dinas kesehatan dan fakta di lapangan pun juga berbeda. “Untuk dropping ke kabupaten/kota, jadi dinkes yang mendistribusikan ke kabupaten/kota, juga untuk TNI/Polri. Yang repot itu yang gembolan (menumpang), itu di luar koordinasi kami. Kecuali kalau mereka sudah merapat ke kabupaten/kota,” jelasnya.

Kohar enggan menyebut dari mana saja vaksinasi dari pihak luar itu. Namun dia mengakui kegiatan vaksinasi di luar koordinasi dengan pemerintah itu menjadi salah satu penyebab kacaunya data vaksinasi di Jawa Timur.

Dia contohkan, misalnya dalam satu daerah jumlah vaksin yang diberikan sebanyak 100 dosis. Sedangkan jumlah orang yang sudah menerima vaksin sebanyak 75 orang.

Asumsinya, stok vaksin yang tersisa ada sebanyak 25 dosis. Namun sisa stok vaksin tidak menjadi akurat jika ternyata ada gelaran vaksinasi yang masuk dalam data Dinkes Provinsi.

“Berbeda misal diberi vaksin 100, lalu ada yang bawa vaksin dari (pihak) luar ke daerah itu 50, disuntikkan semua, totalnya 75. Nah sisa vaksinnya karek piro (tinggal berapa)? Problem sisa vaksin berapa, dikurangi capaian vaksinasinya, ada drop-dropan vaksin lain. Makanya datanya selegenje,” kata dr. Kohar.

Mengenai disparitas vaksinasi yang berbeda di setiap daerah, dr. Kohar menyebut ada tiga faktor yang mempengaruhi.

Pertama, keberadaan vaksin. Kedua, jumlah vaksinator dan fasilitas vaksinasi. Ketiga, keinginan dari masyarakat untuk mau divaksin.

Selama ini ada sejumlah daerah yang kekurangan tenaga vaksinator, sehingga tingkat capaian vaksinasinya tidak secepat daerah lainnya. “Selain dropping, tenaga vaksinator-nya terbatas apa enggak? Soalnya ada juga yang mengadakan vaksinasi massal, ternyata tenaganya dari orang-orang puskesmas. Akhirnya vaksinasi di puskesmas tertunda,” ujarnya.

Sebelumnya, Dokter Windhu Purnomo Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga mengatakan, ketidakcocokan data vaksinasi itu bersumber pada definisi pelaporan vaksinasi yang diterapkan oleh Kementerian Kesehatan.

Selama ini, definisi operasional pelaporan vaksinasi, menurut Windhu, dicatat berdasarkan di mana vaksinasi itu dilakukan. Padahal, bisa saja yang mengikuti vaksin di suatu daerah bukanlah orang yang tinggal atau berdomisili di daerah itu.

Di Jawa Timur, kata Windhu, kegiatan vaksinasi massal yang digelar pihak selain Dinkes itu banyak dilakukan di Surabaya. Dia contohkan kegiatan vaksinasi yang dilakukan BUMN di Grand City Surabaya beberapa waktu yang lalu.

“Itu sampai ada yang datang dengan bus khusus, rombongan begitu. Mereka ini bukan orang yang berdomisili di Surabaya, lho. Tapi dicatat sebagai coverage (cakupan) warga Surabaya. Juga misalnya, yang dilaksanakan oleh TNI di Banyuwangi. Itu untuk warga Banyuwangi, tapi dicatatkan sebagai coverage Surabaya,” katanya.(ist)

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.