
MALANG (Lenteratoday) - Baru-baru ini Presiden Joko Widodo kerap mempromosikan profesi sebagai petani muda. Akan tetapi promosi itu tak dibarengi dengan aksi yang bisa mendorong petani muda untuk terus melanjutkan profesinya sebagai petani.
Di Kabupaten Malang saja, profesi sebagai petani mengalami penurunan secara drastis dari tahun ke tahun. Menurut data BPS terakhir, pada tahun 2018 dari 1.354.311 jumlah penduduk, hanya 6,70% yang berprofesi sebagai petani, atau setara dengan 90.376. Pekerja paling banyak didominasi pada sektor Buruh atau Karyawan, yakni sebesar 35,50% dari total penduduk.
Kabupaten Malang setidaknya memiliki 45.888 Ha sawah. Akan tetapi kondisi kaum muda yang kehilangan ketertarikannya pada sektor pertanian membuat profesi sebagai petani kehilangan banyak peminat.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi hilangnya selera kelompok muda untuk menjadi petani. Wahyu Eka, asisten peneliti di Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur menjelaskan, minat kelompok muda yang hilang ini paling tidak disebabkan oleh 4 Faktor.
Tidak terkontrolnya pasar, UU pertanian yang tidak membebaskan, banyaknya lahan yang dialihfungsikan, dan budaya. Ketidakpastian harga jual hasil pertanian, menyebabkan ia dianggap sektor yang tidak menjanjikan, karena penghasilan yang tidak pasti dan sulit diprediksi. Dengan kondisi demikian, kelompok muda lebih tertarik dengan pekerjaan yang bisa memberikan kepastian, seperti sektor buruh atau karyawan, dan sektor pertanian lebih banyak digeluti oleh penduduk dengan usia tua.
"Mayoritas petani didominasi usia 45-50 tahun sekitar 7.356 juta penduduk, kalau umur 25-36 yang termasuk fase produktif 3.128 ribu, produktif muda 15-24 tahun, 229 ribu penduduk, artinya jumlah petani ini, kalau dari data sensus 2013 ini kan dalam 10 tahun terakhir jumlah petani sebenarnya didominasi oleh orang-orang tua, dari usia 40-an, nah, persoalan ini kan yang sebetulnya perlu dilihat, karena kita bicara petani muda," Kata Wahyu pada lentera (15/8/2021).
Masalah yang kompleks dalam pertanian ini tak bisa dilepaskan, dan saling berkaitan. "Dari angka ini sebenarnya kita bisa pahami, kenapa anak muda lebih banyak berada di sektor industri, karena memang mereka tidak melihat potensi pada sektor pertanian, karena kondisinya pasar juga tidak dikontrol oleh pemerintah, kan dilepaskan begitu saja pada pasar, sehingga harga jual bisa sangat naik, bisa juga sangat turun, ketidakstabilan ini yang dikhawatirkan oleh petani muda, dan tidak bisa mereka selesaikan sendiri," lanjutnya menjelaskan.
"Selain itu banyak lahan yang dialihfungsikan juga bawa dampak tersendiri, banyak sawah dijadikan manufaktur, hutan malah dibabat untuk dijadikan lahan pertanian, ya kalau petani sudah kehilangan lahan, apa yang mau digarap?" terangnya.
Gembar-gembor pemerintah yang mendukung petani muda menurut Wahyu adalah tindakan kontradiktif, karena pada kenyataannya masalah-masalah di atas masih ada hingga kini, dan belum terselesaikan. Pemerintah seharusnya bisa memberikan dukungan dan perlindungan agar petani muda tak takut melangkah. (ree)