
MOJOKERTO (Lenteratoday) - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P menyoroti pengolahan limbah medis di PT. Putra Restu Ibu Abadi (PRIA). Hal itu saat kunjungan perusahaan di Dusun Kedung Palang, Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Jawa-Timur, Selasa (16/2/2021) siang.
Dalam kunker tersebut Menko PMK bersama rombongan dilokasi fokus menyoroti upaya yang dilakukan oleh daerah dalam menangani masalah limbah medis, terutama dari fasyankes. Muhajir mengungkapkan, secara umum kondisi pengelolaan limbah medis di Indonesia masih menghadapi tantangan mulai dari aspek regulasi, kapasitas pengolahan, peran pemerintah daerah, koordinasi antara lembaga, SDM, sarana prasarana, perizinan, peran swasta dan pembiayaan
"Kapasitas pengolahan limbah medis belum memadai baik dari segi jumlah maupun sebaran yang tidak merata. Jumlah fasyankes yang mempunyai fasilitas pengolah limbah berizin atau insenerator saat ini baru berjumlah 120 RS dari 2.880 RS dan hanya 5 RS yang memiliki autoclave. Padahal, semua propinsi mempunyai alat pengolah limbah medis di daerahnya," tandasnya.
Dia mengharapkan penanganan limbah medis dapat diselesaikan di setiap daerah dengan konsep pengolahan limbah medis berbasis wilayah sesuai amanat Permenkes No. 18/2020 tentang Pengelolaan Limbah Medis Fasyankes berbasis wilayah.
Masih kata Muhajir, dampak meningkatnya jumlah kasus positif Covid-19 mengakibatkan bertambahnya jumlah limbah medis Fasyankes. Namun demikian faktanya belum banyak rumah sakit yang memiliki pengolahan limbah on-site. Padahal, UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tegas mengatur bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3.
"Apabila setiap orang tidak mampu mengelola limbah B3, maka harus diserahkan ke pihak lain dan wajib mendapatjan izin dari menteri, gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Bila pengelolaan limbah B3 tidak dilakukan sesuai peraturan perundangan-undangan, maka UU tersebut juga mengatur ketentuan pidana dalam bentuk pidana penjara dan denda," sambungnya.
Hal ini, lanjut Muhajir, penting dilakukan karena dampak dari pengelolaan limbah medis yang tidak terkelola dengan baik dapat menimbulkan dampak lingkungan seperti pencemaran lingkungan termasuk dampak kesehatan seperti tertusuk benda tajam, Hepatitis bahkan HIV. Untuk propinsi Jawa-Timur, data tahun 2020 menyebutkan dari total limbah medis yang dihasilkan sebanyak 34.891,940 Kg.
"Namun, kapasitas pengolahan di fasyankes hanya mampu 6.864 Kg. Kondisi fasilitas pengolahan yang terbatas inilah yang menyebabkan pengelolaan limbah di daerah khususnya luar pulau Jawa mengalami kendala dan harus segera dibenahi," pungkas Muhajir. (Joe)