15 April 2025

Get In Touch

Industri Garam: Antara Asin dan Manis

Industri Garam: Antara Asin dan Manis

Mantan Dirut PT Garam (Persero) yang kemudian diangkat menjadi Komisaris, Slamet Untung Irrendenta sama sekali tidak menyangka ketika dirinya tidak lagi bisa tidur di rumah. Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim menahan tersangka kasus penjualan garam hasil produksi perusahaan tersebut dan menjebloskannya ke Rutan Medaeng.

Kasus itu diusut Kejati Jatim sejak 2014 berdasar laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2012. Berdasar laporan tersebut, 10 ribu ton garam milik PT Garam raib. Setelah ditelusuri, garam tersebut ternyata dijual secara bertahap pada 2010-2011.

Dalam penelusuran penyidik, 10 ribu ton garam itu ternyata dijual oknum atas perintah Dirut PT Garam yang saat itu dijabat Slamet Untung. Tahun 2015 dalam sidang akhirnya majelis hakim menjatuhkan pidana penjara untuk Slamet Untung selama setahun.

Dua tahun sebelumnya (2013) secara tak sengaja saya berkenalan dengan Slamet. Waktu itu dia sudah menjabat sebagai Komisaris PT Garam. Karena baru pertama kenal, pembicaraan banyak dikuasai oleh Slamet. Terutama menyangkut tata niaga garam impor maupun garam lokal.

Di ujung pertemuan, saya bilang kepada dia: “Garam rasanya asin. Kok ya banyak sekali peminatnya”. Dia berseloroh, “Asin kalau satu sendok. Kalau sekarung ya manis, Mas.”

Saya selalu ingat kalimat Slamet itu. Bahkan hingga di kemudian hari. Saat dia diperiksa Kejaksaan hingga dijatuhi vonis tetap.

Tahun 2020 pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menetapkan alokasi kuota impor garam untuk kebutuhan industri sebesare 2,9 juta ton. Meningkat 200.000 ton dibanding tahun lalu.

Di sisi lain, hasil panen garam rakyat mengalami peningkatan. Produksi garam tercatat 2,86 juta ton pada akhir 2019. Meningkat dibanding realisasi tahun 2018 yang mencapai 2,72 juta ton.

Sekalipun produksinya meningkat, harga garam petambak rakyat tengah terjun bebas. Harganya kisaran Rp 150- Rp 250 per kilogram. Sementara itu tahun 2018 harganya Rp 1.600 per kg. Angka ini sangat memprihatinkan: cuma 10 persen, dibanding tahun lalu.

Ketidak pastian pasar terus berlangsung. Padahal petambak garam tengah berupaya memperbaiki mutu produksi. Banyak petambak di berbagai wilayah sudah menerapkan teknologi terbarukan. Antara lain, menggunakan teknologi geomembran, dan geoisolator .

Teknologi geomembran merupakan sistem produksi garam dengan cara air laut dialirkan ke dalam kolam penampungan terlebih dahulu, lalu dilakukan filterisasi dengan menggunakan ijuk sapu, batok kelapa dan batu zeolit.

Air laut yang sudah disaring masuk ke dalam kolam penampungan yang sudah terlapisi plastik. Setelah air laut sampai di meja kristal yang sudah terlapisi plastik, maka proses penguapan air laut jauh lebih sempurna dibandingkan cara tradisional yang tanpa menggunakan plastik atau terpal.

Hasilnya dua kali lipat lebih banyak dibanding tanpa proses produksi secara tradisional. Proses pengkristalan garam dengan menggunakan teknologi geomembran itu juga jauh lebih cepat yaitu hanya 14 hari dibandingkan cara tradisional yang butuh waktu 30 hari.

PT Garam tahun ini mulai mulai mengoperasikan mesin pencuci garam untuk mengolah garam lokal menjadi garam industri. Perusahaan BUMN ini juga meningkatkan peyerapan garam rakyat, dan menstabilkan harga garam rakyat. Garam rakyat yang diserap PT Garam saat ini harganya sekitar Rp 650-Rp 700 per kg. PT Garam rencana akan menjual garam industri hasil olahan pada kisaran Rp 1.200-Rp 1.500 per kg.

Pertanyaannya: sejauh mana garam industri hasil olahan mampu bersaing dengan garam impor yang terbilang lebih murah dan gampang didapat?

Perdagangan sektor garam. Jangan sampai kalimat yang pernah saya dengar, akan kembali berulang. ““Garam itu berasa asin kalau satu sendok. Kalau sekarung ya manis, Mas.”

Meskipun cuma kiasaan, ternyata masuk akal. Buktinya, orang yang menyampaikan kalimat tersebut benar-benar masuk bui!

Salam [ABH]

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.