12 December 2025

Get In Touch

Gundah di Tempat Kelahiran Yesus

Sejumlah gereja di Gaza telah menjadi sasaran pasukan tempur Israel sejak serangan mereka ke wilayah ini Oktober lalu. Potret ini menunjukkan Gereja Santo Porfirius di Gaza yang rusak akibat serangan rudal Israel (GettyImages)
Sejumlah gereja di Gaza telah menjadi sasaran pasukan tempur Israel sejak serangan mereka ke wilayah ini Oktober lalu. Potret ini menunjukkan Gereja Santo Porfirius di Gaza yang rusak akibat serangan rudal Israel (GettyImages)

KOLOM (Lentera) -Senin (8/12/2025) saya unggap video serangan udara Israel di Gaza mengguncang Gereja Katolik. Jendelanya dihancurkan saat orang-orang berdoa

Israel menargetkan warga Kristen sebagaimana dilakukan kepada umat Muslim Palestina.

Bethlehem meniadakan perayaan Natal di ruang publik. Kebijakan ini sebagai bentuk solidaritas ketika perang di Gaza berkecamuk.

Wali Kota Bethlehem Maher Canawati menyebut, perayaan Natal dan Tahun Baru kali ini terasa jauh dari suasana meriah.

Meski demikian, pohon natal di Bethlehem menjadi simbol harapan sekaligus duka dan solidaritas untuk Gaza.

“Saat Bethlehem menyalakan pohon natalnya, penderitaan mendalam yang dialami rakyat kami di Gaza tidak pernah lepas dari hati kami,” katanya.

Meskipun Gaza berjarak sekitar 60 kilometer dari Bethlehem, dampak perang terasa berat di Tepi Barat.

Lebih dari 1.680 serangan pemukim Israel tercatat terjadi di Tepi Barat sepanjang 2025. Kekerasan itu mengancam komunitas Kristen Palestina di Tepi Barat.

Sebagian akhirnya terpaksa meninggalkan wilayah tempat kelahiran Yesus itu.

Di tengah kemeriahan jelang Natal, komunitas itu dibayangi ketakutan dan rasa putus asa.

Bahkan, penyalaan pohon natal di Bethlehem pada Sabtu (6/12/2025) tak mampu menghilangkan kegundahan warga Kristen Palestina.

Dalam artikel Aljazeera, Minggu (7/12/2025) kegelisahan Pendeta Fares Abraham, dicurahkan.

Pendiri dan Presiden Levant Ministries itu menulis, komunitas Kristen Palestina kini menghadapi ancaman eksistensial.

Semua akibat penyitaan tanah dan ekspansi permukiman Israel di Tepi Barat. Keluarga-keluarga di sekitar lokasi itu hidup dalam ketidakpastian dan bayang-bayang pengusiran.

Kemunculan pos permukiman ilegal Israel di pinggiran Beit Sahour, misalnya, menghentikan proyek-proyek penguatan komunitas Kristen Palestina di sana.

“Beginilah cara suatu komunitas menghilang. Bukan karena mereka berhenti beriman, tetapi karena kondisi-kondisi yang diperlukan agar mereka dapat berkembang secara bertahap dicabut oleh pendudukan militer Israel atas tanah mereka,” tulis warga asli Beit Sahour itu.

Kata Abraham, warga Kristen Palestina terdesak oleh penyempitan lahan, pembatasan izin membangun, tekanan ekonomi, dan kekerasan berulang.

Abraham mengkritik sikap diam gereja di Barat. Padahal, setiap Desember, dunia merayakan kisah kelahiran Yesus di Bethlehem. Sementara gereja-gereja di Barat mengabaikan keluarga-keluarga Kristen di Bethlehem berjuang keras untuk tetap tinggal di tanah leluhur mereka.

Banyak warga Bethlehem memiliki keluarga dan kerabat di Gaza. Selain itu, sektor pariwisata juga nyaris lumpuh. Padahal, pariwisata adalah urat nadi perekonomian kota.

Seorang pemilik toko suvenir di Bethlehem menggambarkan dua tahun terakhir sebagai masa seperti neraka.

“Kami berusaha sekuat tenaga untuk bertahan,” ujar warga yang enggan disebutkan namanya karena khawatir mendapat pembalasan dari pasukan Israel.

Mengutip Reuters, ia menggambarkan situasi ekonomi yang kian memburuk di tengah pembatasan pergerakan warga Palestina yang semakin ketat.

Gerbang dan jalan diblokade 

Sejak awal tahun ini, puluhan ribu warga Palestina juga terusir dari rumah mereka. Hal itu akibat operasi militer Israel di kota-kota besar di Tepi Barat.

Wisatawan berdiri di depan grafiti mirip Presiden Amerika Serikat Donald Trump di tembok kontroversial Israel di kota Bethlehem Tepi Barat (Ant)
Wisatawan berdiri di depan grafiti mirip Presiden Amerika Serikat Donald Trump di tembok kontroversial Israel di kota Bethlehem Tepi Barat (Ant)

Keprihatinan disuarakan Vatican News, Sabtu (6/12/2025). Tekanan terhadap warga Kristen Palestina terasa di Taybeh, desa Kristen terakhir di wilayah Tepi Barat bagian utara.

Dalam serangan pemukim Israel pada malam 4-5 Desember 2025, dua mobil dilaporkan dibakar. Satu bangunan dicoret dengan pesan ancaman.

Serangan itu terjadi hanya beberapa jam setelah peresmian rangkaian perayaan malam Natal di paroki setempat.

Pembukaan acara Natal itu juga dihadiri diplomat dari delapan negara serta para pengunjung dari Ramallah, Jerusalem, dan kota-kota sekitar.

Serangan menyebabkan kerusakan material, meski tidak menimbulkan korban jiwa.

Pastor Bashar Fawadleh, imam Paroki Gereja Latin Taybeh, mengatakan, komunitas itu butuh dukungan.

“Kami membutuhkan dukungan yang lebih kuat untuk melindungi rakyat dan tanah kami. Taybeh adalah desa Kristen terakhir di wilayah ini, dan kami membutuhkan kerja sama global agar tetap bertahan,” katanya.

Menurut Fawadleh, serangan di Taybeh telah terjadi enam kali sepanjang tahun ini. Ia menegaskan bahwa warga tetap bertahan.

“Kami tetap di sini. Kami tidak merasa aman, tetapi kami tetap melanjutkan kehidupan sehari-hari. Kami harus terus merayakan Natal,” ujarnya.

Menurut laporan Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UN OCHA), sejak Januari 2025 telah terdokumentasi 1.680 serangan pemukim Israel di lebih dari 270 komunitas Palestina.

Jika dirata-rata, serangan sekitar lima kali sehari. Panen zaitun menjadi salah satu sektor yang paling terdampak.

Sepanjang Oktober-November saja, sebanyak 178 insiden terjadi di 88 lokasi. Laporan NBC News, Kamis (25/7/2025), menggambarkan brutalitas serangan pemukim Israel.

Pelakunya bebas

Para pelaku melancarkan serangan secara leluasa. Bahkan, mereka tidak lagi takut dikenali. Sebab, mereka tak pernah ditindak secara hukum.

Direktur Eksekutif Breaking the Silence, Nadav Weiman, mengatakan adanya indikasi impunitas bagi pemukim Israel.

Bahkan, menurut direktur lembaga HAM Israel itu, ada pejabat Israel mengatakan untuk tidak menerapkan hukum pada pemukim Israel.

“Anda tidak perlu menjadi Sherlock Holmes untuk melihat video-video dari Tepi Barat dan melihat wajah para pemukim secara jelas,” katanya merujuk pada impunitas yang membuat banyak pelaku tak lagi menutupi identitas mereka (*)

Arifin BH, Pemimpin Redaksi

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera.co.
Lentera.co.