KOLOM (Lentera) -Pada tanggal 4 Mei 1982, rumah Kiai Idham Chalid kedatangan tamu empat ulama sepuh Nahdlatur Ulama (NU), yaitu K.H. As'ad Syamsul Arifin dari Situbondo, K.H. Makhrus Ali dari Lirboyo, K.H. Ahmad Shiddiq dari Jember, dan K.H. Masykur dari Jakarta, didampingi K.H. Mujib Ridwan, sekretaris PBNU.
Mereka meminta Kyai Idham Cholid untuk mengundurkan dari dari jabatan ketua PBNU.
Kyai Idham bersedia dengan syarat surat pengunduran dirinya baru diumumkan pada 6 Mei 1982. Kesepakatan pun terjadi dan Kyai Idam Cholid menandatangani surat pengunduran dirinya.
Sore harinya, betapa terkejutnya Kyai Idam Cholid saat menerima telepon dari Surabaya menanyakan kebenaran pengunduran dirinya.
Disusul dengan beberapa telepon dari daerah-daerah yang lain. Kecewa karena perjanjian yang telah disepakati dilanggar, Kiai Idham menulis surat pencabutan pengunduran dirinya dan mengirimnya ke PBNU.
Hal ini membuat para kiai meradang. Peristiwa tersebut membuat semakin mengkristalnya dua kelompok NU yang terus bersitegang hingga pelaksanaan muktamar.
Ketika Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Pesantren Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Kyai Idham tidak bisa memasuki arena muktamar karena penolakan dari beberapa pihak.
Akhirnya ia menetap di sebuah hotel di kawasan wisata pasir putih Situbondo. Dan lagi-lagi utusan kiai sepuh datang memintanya tidak maju dalam pencalonan ketua umum.
Bahkan pemerintah juga mendesaknya dengan alasan demi menjaga keutuhan NU dan stabilitas politik umat Islam. Padahal ketika itu ia sudah mengantungi 23 provinsi dari 26 provinsi yang mengikuti muktamar.
Akhirnya beliau bersedia untuk mengundurkan diri dari pencalonan demi keutuhan NU.
Pada muktamar tersebut, terpilihlah Gus Dur, dari kubu Situbondo, sebagai ketua umum PBNU menggantikan Kyai Idham, dan NU diputuskan kembali kepada khittah 1926, sebagai organisasi sosial-keagamaan. (Source: Kompasiana)
Tetap berdoa. Semoga damai dan aman. NU selalu dilindungi dan dirahmati Allah Swt. Aamiin
Editor: Arifin BH/inframe



.jpg)
