 
      KOLOM (Lentera) -Saya berkumpul dengan 102 orang komunitas disabilitas se Jawa Timur, Kamis siang (30/10/2025).
Di Swiss Belhotel, Jalan Bintoro 21-25 Surabaya.
Mereka ada yang datang, duduk di atas kursi roda. Ada yang gunakan dua tongkat untuk berjalan. Ada lagi yang jalan dengan kaki palsu. Ada juga yang dituntun, karena tidak bisa melihat.
Memprihatinkan. Tapi, itulah keseharian kaum disabilitas.
Yang mengundang, Direktorat Jenderal Instrumen dan Penguatan Hak Azasi Manusia.
Saya mewakili Yayasan Pembinaa Anal Cacat (YPAC) Surabaya. Tempat saya mengabdi sejak 20 tahun yang silam.
Ada hal menarik dalam acara yang dihadiri oleh kalangan kampus, serta para penyandang disabilitas tersebut.
Salah seorang peserta menceritakan. Nasib temannya, disabilitas yang jadi korban sebagai Pekerja Seks Komersil (PSK).
Saya katakan jadi korban. Karena awalnya, wanita itu bukan sengaja ingin terjerumus sebagai PSK. Namun, karena tuna wicara, dan tuna rungu. Dia sulit berkomunikasi dengan orang lain. Nasib yang menimpa dirinya.
Untuk curhat.
Akibatnya, dia mengakhiri hidupnya, dengan cara bunuh diri. Di rel kereta api.
Tak dijelaskan secara rinci. Kapan, dan di mana peristiwa itu terjadi.
Namun, yang bercerita dengan lantang di forum tadi itu teeman sesama tuna rungu. Hanya saja, dia lancar berbicara.
Mendengarkan cerita yang memilukan itu para hadir pun sepontan terdiam. Semua larut dalam kesedihan. Dan keprihatinan.
Kelala Dinas Sosial Jawa Timur, Restu Novi Widiani MM, ikut bersedih.
"Kita semua tentu prihatin dengan kejadian itu," tuturnya dengan mimik sedih.
"Seandainya tidak ada kendala komunikasi pada dirinya. Mungkin tidak mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri," tuturnya lebih lanjut.
Tapi itulah kenyataannya. Yang menjadi PR bagi kita semua.
Lantas dia pun bercerita. Ada seorang tuna wicara. Juga dijadikan PSK, yang sekarang diambilnya untuk direhabilitasi. Menjalani kehidupan baru.
Awalnya. Orang tuanya pun kesulitan berkomunikasi. Sehingga cara penanganannya pun salah.
Namun, setelah Dinsos memiliki orang yang bisa berkomunikasi dengan baik, akhirnya orang itu pun berhasil ditangani dengan baik. Hingga sekarang.
Banyak kritikan dan saran dari mereka. Terkait dengan hak azasi manusia yang keseharian mereka alami.
Mislnya. Saat mereka ingin mendaki gunung. Minta surat kesehatan. Tidak diberikan.
Padahal, dalam soal HAM, tidak ada alasan untuk tidak memberikan surat sehat pada mereka.
Di Malang, ada kelompok disabilitas, yang hobi naik gunung.
Tadi, instruktur yang melatih disabilitas sebelum daki gunung, juga hadir.
Dia juga memaparkan pengalamannya. Naik gunung Wilirang. Padahal, dia tidak bisa melihat. Aneh. Tapi nyata.
Penulis. M. Nasaruddin, Wartawan senior Surabaya|Editor: Arifin BH



.jpg)
