 
      SURABAYA (Lentera) -Ramainya keluhan masyarakat mengenai motor yang mbrebet atau tersendat setelah pengisian bahan bakar jenis pertalite menarik perhatian publik. Ditambah lagi adanya isu campuran bahan bakar tersebut dengan Etanol.
Menanggapi hal itu, Dosen Automotive Petra Christian University (PCU) Prof. Dr. Willyanto Anggono, S.T., M.Sc. mengatakan penyebab gangguan mesin tidak bisa serta-merta dikaitkan dengan penggunaan etanol dalam bahan bakar.
“Bahan bakar itu kita beli dari SPBU, jadi belum tentu masalahnya ada pada etanol. Bisa jadi terjadi pada sistem penyimpanan di SPBU, atau saat pengangkutan dari depo ke SPBU. Semua itu harus dicek secara menyeluruh,” ujar Prof. Willyanto ketika dikonfirmasi, Kamis (30/10/2025).
Menurutnya, kontaminasi air atau penyimpanan bahan bakar yang tidak ideal juga dapat menimbulkan gejala mesin tersendat.
“Etanol itu higroskopis, mudah menyerap air. Kalau bahan bakar tercampur air, pembakaran jadi tidak sempurna dan bisa menimbulkan gejala ‘mbrebet’ pada motor,” jelasnya.
Ia menegaskan, pemerintah dan SPBU seharusnya melakukan pengecekan berkala terhadap kualitas bahan bakar yang dijual. “Harus dipastikan bahan bakar yang keluar dari SPBU sudah sesuai spesifikasi yang ditetapkan Direktorat Jenderal Migas.
Kalau ada perbedaan, perlu ditelusuri apakah terjadi kontaminasi atau ada masalah di rantai distribusi,” tambahnya.
Kelebihan dan Kelemahan Etanol
Prof. Willyanto menjelaskan secara prinsip, etanol memiliki sisi positif dan negatif jika dicampur dengan BBM.
“Dari sisi positif, etanol punya angka oktan tinggi sehingga bisa meningkatkan performa pembakaran. Selain itu, etanol berasal dari bio-ethanol, termasuk energi terbarukan yang ramah lingkungan,” tuturnya.
Namun, ia mengingatkan nilai kalor etanol lebih rendah dibandingkan bensin murni, sehingga tenaga mesin bisa sedikit berkurang. “Etanol juga bersifat korosif terhadap komponen mesin berbahan logam dan karet tertentu. Karena itu, perlu dilihat apakah material mesin yang beredar sudah tahan terhadap etanol,” katanya.
E10: Harus Disesuaikan
Terkait kebijakan penambahan etanol 10 persen pada BBM (E10) yang sudah diterapkan di beberapa negara, Prof. Willyanto menilai langkah itu positif.
“Kalau Indonesia bisa menggunakan E10, itu bagus. Artinya kita bisa kurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan beralih ke energi terbarukan. Tapi yang penting, kadar campuran etanol harus sesuai dengan kemampuan mesin di pasaran,” ujarnya.
Ia mengibaratkan, bahan bakar adalah makanan bagi mesin. “Kalau tidak sesuai, misalnya seal atau gasket dari karet tidak tahan terhadap etanol, bisa rusak. Karena itu, perlu disesuaikan antara kadar campuran etanol dengan spesifikasi mesin,” jelasnya.
Menurutnya, sebagian besar mesin kendaraan terbaru sebenarnya sudah siap menggunakan BBM beretanol seperti E10. “Pabrikan besar sudah menyesuaikan spesifikasi mesin mereka dengan regulasi bahan bakar yang berlaku,” katanya.
Pemerintah Perlu Perketat Pengawasan
Untuk itu, Prof. Willyanto menekankan pentingnya pengawasan kualitas BBM secara menyeluruh.
“Pemerintah harus memastikan bahan bakar yang dijual sesuai spesifikasi dan tidak ada pencampuran, baik disengaja maupun tidak. Kalau semua pihak bekerja sesuai standar, masyarakat akan mendapat bahan bakar yang aman dan berkualitas,” tegasnya.
Ia menambahkan, lembaga penguji seperti Sucofindo juga memiliki peran penting dalam melakukan pengujian bahan bakar secara periodik. “Kalau hasil uji sesuai standar, BBM layak dijual. Tapi kalau tidak, sebaiknya jangan dipasarkan,” tutupnya.
Reporter: Amanah|Editor: Arifin BH



.jpg)
