
SURABAYA (Lentera) - Sekitar dua juta tahun lalu, kehidupan di Afrika Timur bukan hanya penuh tantangan, tetapi juga sarat bahaya. Studi terbaru mengungkap bahwa nenek moyang manusia purba, khususnya spesies Homo habilis, kemungkinan besar pernah menjadi mangsa macan tutul.
Riset yang diterbitkan pada 16 September 2025 di jurnal Annals of the New York Academy of Sciences ini memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk menganalisis fosil manusia purba. Temuan tersebut mengungkap kisah tragis dua individu H. habilis, salah satu spesies awal dari genus Homo — kelompok yang kelak menurunkan manusia modern.
Selama ini, para ilmuwan telah menduga bahwa Homo habilis kerap menjadi korban serangan hewan buas seperti singa, buaya, atau macan tutul. Dugaan tersebut muncul karena ditemukannya bekas gigitan pada sejumlah fosil tulang, meski sulit memastikan hewan mana yang benar-benar menjadi pelakunya.
Hal ini terjadi karena metode konvensional, seperti pemeriksaan fisik tulang, tidak mampu memberikan detail cukup untuk membedakan pola gigitan antarspesies. Akibatnya, sebagian besar penelitian hanya menghasilkan kesimpulan umum tanpa identifikasi yang pasti.
Kini, berkat bantuan kecerdasan buatan (AI), para peneliti akhirnya mampu menentukan pelaku dengan tingkat akurasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.
“AI telah membuka pintu baru dalam memahami masa lalu,” ujar Profesor Manuel Domínguez-Rodrigo, arkeolog prasejarah dari University of Alcalá, Spanyol, sekaligus profesor tamu antropologi di Rice University, Texas.
Domínguez Rodrigo bersama tim penelitinya meneliti dua fosil Homo habilis, yaitu OH 7 individu muda yang hidup sekitar 1,85 juta tahun lalu dan OH 65, individu dewasa berusia sekitar 1,8 juta tahun.
Kedua spesimen tersebut ditemukan beberapa dekade silam di Ngarai Olduvai, Tanzania, yang dikenal sebagai salah satu situs paling bersejarah dalam studi evolusi manusia.
“Kami memilih dua fosil ini karena keduanya paling jelas diidentifikasi sebagai H. habilis dan juga paling terawat,” jelas Domínguez-Rodrigo, dikutip Live Science.
Dari hasil pemeriksaan awal, tim peneliti menemukan jejak gigitan hewan pemangsa pada rahang bawah individu muda dan rahang atas individu dewasa—bekas yang sebelumnya belum pernah teridentifikasi. Untuk memverifikasi temuan tersebut, mereka memanfaatkan teknologi computer vision berbasis kecerdasan buatan (AI).
Model AI tersebut dilatih dengan ratusan contoh bekas gigitan dari hewan karnivora modern seperti hiena, buaya, dan macan tutul. Dalam uji blind test, model terbaik mampu mengidentifikasi jenis hewan berdasarkan pola gigitan dengan tingkat akurasi lebih dari 90 persen.
Saat diterapkan pada fosil OH 7 dan OH 65, hasil analisis menunjukkan bahwa bekas gigitan tersebut berasal dari macan tutul. Temuan ini, ditambah bukti fisik lainnya, memperkuat dugaan bahwa kedua individu H. habilis itu bukan hanya diserang, melainkan benar-benar menjadi santapan predator tersebut.
“Fakta bahwa hanya sedikit bagian kerangka yang tersisa menunjukkan tingkat kerusakan yang sangat tinggi,” kata Domínguez-Rodrigo. “Jika ada pemangsa lain yang lebih dulu memangsa mereka, macan tutul tidak akan tertarik lagi, karena hewan ini hanya memakan daging segar.”
Dengan kata lain, macan tutul diduga kuat menjadi predator utama sekaligus yang pertama memangsa kedua individu manusia purba tersebut.
Domínguez-Rodrigo menjelaskan bahwa untuk menembus rahang bawah (mandibula) pada fosil individu muda OH 7 seperti yang terlihat, macan tutul kemungkinan telah mengoyak sebagian besar jaringan daging dan lidah korban terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa serangan itu bukan sekadar untuk melumpuhkan, tetapi benar-benar bertujuan untuk memakan seluruh tubuh mangsanya.
“Ini jelas bukti konsumsi, bukan sekadar gigitan untuk membunuh,” tegasnya.
Temuan ini menjadi pengingat bahwa jauh sebelum manusia mendominasi alam, kita pernah berada di posisi yang rentan sebagai mangsa. Pada masa itu, setiap langkah keluar dari tempat berlindung bisa berujung pada pertaruhan antara hidup dan mati.
Kini, berkat kecanggihan teknologi AI, para ilmuwan dapat menelusuri masa lalu dengan lebih jelas, mengungkap bahwa sejak zaman prasejarah, naluri bertahan hidup manusia sudah ditempa oleh ancaman predator dan kerasnya alam liar.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber