02 October 2025

Get In Touch

PGRI Kota Semarang Tolak Wacana Guru jadi Tester MBG: Siapa Menjamin Nyawa Guru ?

Ilustrasi, Petugas SPPG di Blora menyiapkan makanan program MBG yang akan didistribusikan ke sekolah. (foto:ist/dok.Tribunnews)
Ilustrasi, Petugas SPPG di Blora menyiapkan makanan program MBG yang akan didistribusikan ke sekolah. (foto:ist/dok.Tribunnews)

SEMARANG (Lentera) – Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Semarang, Prof Nur Khoiri menolak wacana guru menjadi tester makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebelum disajikan ke murid.

Dia menilai, usulan itu justru berisiko pada keselamatan tenaga pendidik, apalagi di tengah maraknya kejadian keracunan makanan MBG. Nur Khoiri mengatakan, wacana guru menjadi tester memunculkan pertanyaan siapa yang bakal menjamin nyawa guru tersebut.

"Namanya manusia, nyawa kan tidak bisa coba-coba. Kalau ternyata makanannya tidak sehat, itu bisa membahayakan bapak-ibu guru," ujar Prof Nur Khoiri saat dihubungi Tribunnews dikutip, Kamis (2/10/2025).

Ia menyayangkan, pelimpahan tanggung jawab pengawasan makanan MBG kepada guru. Menurutnya, profesi guru sudah cukup terbebani dengan tugas mendidik, mengajar, hingga membimbing siswa. 

Ditambahnya, peran sebagai 'tester makanan' hanya akan membuka risiko baru yang semestinya tidak perlu.

"Guru itu kasihan. Mereka harus turut serta menyukseskan program tapi kalau ada permasalahan, misalnya kasus keracunan, masyarakat tahunya ke sekolah. Guru yang akan ditarik-tarik tanggung jawabnya," kata Khoiri.

Ketimbang guru mencicipi langsung makanan MBG, Khoiri mengusulkan penyederhanaan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk memastikan kualitas hidangan sebelum didistribusikan.

"Makanan bisa diperiksa tanpa harus dimakan. Bisa dilihat, dicermati, bahkan diraba. Kalau ada lendir, bau, atau tekstur yang aneh, itu sudah jadi tanda," jelasnya.

Baginya, langkah-langkah sederhana semacam itu jauh lebih masuk akal ketimbang menjadikan guru sebagai 'kelinci percobaan'. Apalagi, dalam kasus keracunan yang pernah terjadi di beberapa daerah, faktor utamanya bukan soal rasa melainkan proses pengolahan dan distribusi yang terburu-buru.

"Jangan sampai, karena dikejar waktu, masakan yang harusnya 30 menit matang, baru 20 menit sudah dibagikan. Itu kan berbahaya," kata Khoiri.

Khoiri menyarankan, pengawasan MBG melibatkan unsur komite sekolah. Dengan begitu, kontrol tidak berhenti di dapur penyedia (SPPG) tetapi juga terus berlapis hingga ke sekolah.

"Pelibatan komite penting agar ada kontrol dari masyarakat. Jangan semua dibebankan ke guru. Guru biar fokus mengajar," ucapnya.

Ia mencontohkan, beberapa sekolah swasta di Semarang bahkan menolak program MBG karena orangtua siswa lebih percaya pada makanan yang disiapkan kantin sekolah. 

"Yang saya tahu, ada tiga sekolah swasta menolak. Mereka memilih jalur sendiri, karena lebih yakin dengan kebersihannya," ungkapnya.

Bagi Khoiri, bicara soal makanan di sekolah, tidak bisa hanya dilihat dari angka statistik.  Meski jumlah kasus keracunan MBG masih terbilang kecil dibandingkan total porsi yang didistribusikan, kesehatan anak-anak tetap tidak boleh dipertaruhkan.

"Kalau bicara statistik, misalnya dari satu juta porsi hanya 50 yang bermasalah. Angkanya kecil. Tapi ini nyawa. Tidak bisa disepelekan," katanya.

Mencicipi makanan bukan berarti aman, justru bisa menjadi pintu masuk risiko. Khoiri menegaskan, MBG tetap program penting yang harus didukung. 

Namun, dukungan itu tak bisa polos-polosan tanpa pengawasan serius. Dari bahan baku, cara masak, hingga waktu distribusi semuanya membutuhkan kedisiplinan pelaksana di lapangan.

"SOP itu sebenarnya sudah ada. Masalahnya di lapangan, kedisiplinan pelaksanaan itu yang sering lemah. Di sinilah peran pengawasan eksternal harus diperkuat," pungkasnya.

Editor: Arief Sukaputra

 

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.