03 October 2025

Get In Touch

Menguatkan Eksistensi Batik Sendang Lamongan Sebagai Budaya Warisan Leluhur

Anak muda, salah satu generasi pengrajin batik di desa Sendangagung menggambar pola batik di rumah produksi Sifwatir Rif'ah.
Anak muda, salah satu generasi pengrajin batik di desa Sendangagung menggambar pola batik di rumah produksi Sifwatir Rif'ah.

LAMONGAN (Lentera) - Hari ini, Kamis 2 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Batik Nasional. Penetapan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional berawal dari pengakuan UNESCO pada 2 Oktober 2009, yang menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Penetapan itu mengukuhkan bahwa batik tidak hanya sebagai kain bermotif indah, tetapi juga simbol identitas, kreativitas, dan persatuan bangsa. Corak dan motif batik menggambarkan filosofi kehidupan, doa, serta nilai warisan luhur dari berbagai daerah di Nusantara. Salah satu daerah yang kaya dengan batik adalah Jawa Timur (Jatim). Dari data Dekranasda Jatim, setidaknya ada lebih dari 1.300 motif batik yang tersebar di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.

Batik sebagai warisan budaya terbukti tak lekang oleh waktu. Salah satunya bisa dilihat di desa Sendangagung dan Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Desa yang ada di sebelah utara Kabupaten Lamongan ini sudah menjadi penghasil batik sejak 500 tahun lalu. Bahkan, sampai saat ini, batik masih eksis dan Lestari.

Nuansa pedesaan cukup terasa ketika memasuki desa Sendangagung yang berjarak sekitar 3 kilo meter dari Wisata Bahari Lamongan (WBL). Awalnya, pandangan mata dimanjakan dengan pemandangan Pantai. Namun, setelah itu perjalanan disambut dengan rerimbunan pohon dan ladang-ladang yang terpampang hijau.

Desa ini menyimpan sejarah panjang tentang batik. Sifwatir Rif'ah yang berhasil ditemui di rumahnya RW 2 Desa Sendangagung menceritakan bahwa batik Sendang merupakan warisan dari Raden Nur Rahmat atau yang kerap disebut sebagai Sunan Sendang.

“Keterangan paling banyak menyebut keberadaan Batik Sendang Lamongan dalam khazanah batik nusantara tidak lepas dari keturuan raja Majapahit yang dikenal dengan Raden Nur Rahmat sekitar 500 tahun lalu,” kata Dosen Prodi Ekonomi Syariah, Institut Agama Islam Tarbiatut Tholabah Kranji, Paciran, Lamongan ini, Selasa (29/9/2025).

Wanita yang juga salah satu pengusaha batik di Desa Sendangagung ini kembali mengisahkan bahwa Raden Nur Rahmat lahir tahun 1442 saka atau 940 H yang bertepatan dengan tahun 1520 M. Dia merupakan anak dari Syekh Abdul Qohar bin Malik bin Syeikh Abu Yazid Al-Baghdadi. Sedangkan ibunya adalah Dewi Sukarsih, putri Tumenggung Sedayu Joyo Sasmitro, keturunan Prabu Brawijaya.

“Dari jalur ibu inilah Nur Rahmad mendapatkan gelar raden sebagaimana bangsawan pada umumnya zaman itu,” katanya.

Kemudian, Batik Sendang yang kini juga dikenal dengan Batik Sendang Lamongan bermula dari pernikahan Raden Nur Rahmad dengan seorang putri dari Kudus, yaitu Raden Ayu Tilaresih yang merupakan putri Pangerang Ngrenget, keluarga Kesultanan Demak yang juga berasal dari keturunan Prabu Brawijaya melalui Raden Fattah atau sultan pertama Kerajaan Demak Bintoro.

“Raden Ayu Tilaresih sejak kecil dikenal dekat dengan bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat yang terkenal dengan sebutan Mbok Rondo Mantingan yang masih cucu Raden Fattah,” kisahnya.

Raden Nur Rahmat berdakwah di sekitar Kawasan Amituno yang saat ini menjadi Desa Sendangagung dan Sendang Duwur. Untuk melengkapi dakwahnya, Sunan Sendang bermaksud mendirikan Masjid di atas bukit Amintuno, dan Sunan Drajat memberikan saran pada Raden Nur Rahmat, supaya ke Mantingan, Jepara, menemui Nyai Ratu Kalinyamat (Mbok Rondo Mantingan).

Dari pertemuannya dengan Nyai Ratu Kalinyamta, Sunan Sendang mendapat hadiah sebuah 'masjid berukir'. Kemudian masjid itu berhasil dibangun pada tahun 1483 saka sama dengan tahun 1561 M. Suatu ketika, Sang Ratu pun berkenan melihat masjid yang dihadiahkannya dan ditempatkan di atas bukit Amintuno, pembangunannya pun konon hanya dalam satu malam.

“Dalam kunjungan tersebut Ratu Kalinyamat mengenakan kain batik motif kawung yang elok sampai-sampai mengundang penduduk berdecak terkagum-kagum,” kisah wanita yang juga penulis buku “Batik Lamongan: Jejak Ekonomi Kreatif Warisan Sunan Sendang” ini.

Rif’ah kembali menceritakan, atas kekaguman warga tersebut, maka Raden Ayu Tilaresih yang memiliki keterampilan membatik itu kemudian mengajarkan penduduk setempat tentang seni membatik.

“Nah, Keterampilan Raden Ayu Tilaresih ini didapat kerana masa remajanya dihabiskan di sekitar Kudus-Jepara dan sebagimana para putri pada umumnya. Waktu itu dia belajar membatik hingga mahir,” katanya.

Ternyata, penduduk setempat menyambut baik ajaran membatik dari Raden Ayu Tilaresih. Lambat laun, akhirnya membatik menjadi pekerjaan sambilan para ibu rumah tangga. Bahkan menjadi tambahan pendapatan keluarga disamping dari suami yang bekerja sebagai petani maupun yang lainnya.

Kemudian, keahlian membatik tersebut diwariskan turun menurun. Perjalanannya sudah mencapai ratusan tahun hingga saat ini. Batik juga masih menjadi salah satu sumber ekonomi sebagian keluarga di desa Sendangagung dan Sendang Duwur.

Rif’ah mengatakan memang Batik Sendang Lamongan belum sepopuler batik dari Solo, Yogyakarta dan Pekalongan. Namun,  Batik Sendang Lamongan ini dinilai memiliki eksotisme tersendiri dibanding batik tulis pada umumnya. Nilai itu tercermin dari ekspresi yang terpancar dari guratan yang memadukan pengaruh klasik Majapahit dan nilai Islam. Bahkan saat ini juga berpadu secara harmonis dengan perkembangam motif kekinian.

“Perjalanan Batik Sendang Lamongan memang sudah panjang. Bagai sebuah produk batik adalah hasil cipta manusia yang dapat berubah bahkan lenyap setiap saat. Ada motif Batik Sendang sempat nyaris hilang dari peredaran karena setelah peristiwa Gestapu tahun 1965 hingga tahun 1980-an terjadi puncak stagnasi produksi,” katanya.

Rif’ah mengatakan, saat itu ayah dan ibunya yaitu Ishaq dan Sumikah yang merupakan pengusaha batik dipercaya Bupati Lamongan H. Moch. Farid (1989-1999) untuk menggali motif Batik Sendang yang pernah ada. Setelah melakukan penelusuran, akhirnya mereka mendapatkan motif-motif yang pernah ada.

Dari situlah kemudian para pembatik mulai bangkit dan akhirnya motif batik seperti modang, gendagan, paten, gringsing, kawung, namkatil, yang bernuansa flora, fauna dan alam raya ini kembali diproduksi. Akhirnya Batik Sendang Lamongan menyebar ke pasaran bahkan sampai luar Lamongan seperti Surabaya, Jakarta. 

“Kini, lahir banyak pengembang batik di Sendang sehingga terpelihara batik motif klasik dan kontemporer. Dinamika Batik Sendang Lamongan ini seperti mengamalkan kredo umum masyarakatnya, yaitu memelihara tradisi yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Dengan mengakomodasi dua arus tersebut, Batik Sendang Lamongan yang mulai dikembangkan sejak 500 tahun lalu itu, memasyarakat bersama zaman dan menyumbang kebanggaan Indonesia di mata dunia sebagai 'The Pride and Masterpiece Heritage of Indonesia',” paparnya.

Rif’ah juga berupaya mengenalkan Batik Sendang Lamongan lengkap dengan filosofi yang terkandung. “Motif batik dari dulu, yang saya punya itu Gendagan dan sekarang masih dipakai sampai sekarang. Petetan itu motif bunga yang ada sejak dulu dan itu dipakai karena khasnya orang itu dari dulu,” katanya.

Terkait dengan filosofi, Batik Sendang juga mengalir kepercayaan. Bahkan, ada motif yang dari dulu dipercaya untuk menyembuhkan penyakit. Sehingga motif tersebut banyak dicari untuk orang sakit. “Filosofinya dulu ada lima anak kelahiran gajah seling,  laki-laki, perempuan, laki-laki, Perempuan, laki-laki. Dan itu yang pertama meninggal,  itu juga diminta untuk memapaki batik seperti ini. Sampai saat ini motif itu masih ada,” ceritanya di ruang tamu kediamannya.

Sebagai keluarga pengusaha batik, Rif’ah sadar saat ini banyak anak muda yang enggan untuk meneruskan budaya leluhur tersebut. Namun, dia terus berupaya memberikan pemahaman bahwa batik mampu menjadi lapangan kerja. Tentunya, harus disertai dengan peningkatan kualitas batik tersebut sehingga mampu bersaing di pasar.

Rumah Rif’ah juga menjadi tempat produksi batik, dan pembatiknya juga dari kalangan anak muda. “Sisi SDM memang kita minim karena yang ada itu ya itu saja dan kurang generasi. Generasi muda itu sering merasa tidak cocok dengan batik dan bahkan bilang tidak elit membatik. Tapi dengan perkembangan sekarang dengan banyaknya promosi dan memang ada dampaknya. Seperti saya jual itu ke pasar dan online dan juga ada pengaruhnya,” jelasnya.

Dia juga mengakui bahwa pemerintah desa Sendangagung juga berupaya untuk menjaga dan menguatkan eksistensi batik diantaranya melalui pelatihan- pelatihan.  Kemudian juga dengan menggelar berbagai even sebagai alat promosi guna menunjang peningkatan polularitas dan penjualan Batik Sendang Lamongan.

Kepala Desa Sendangagung, Panut Supodo, yang ditemui di kantor desa menjelaskan bahwa sejak awal menjabat sebagai kepala desa sudah menyadari potensi besar dalam ekonomi. Terlebih lagi batik Sendang punya nilai historis yang panjang sebagai warisan budaya leluhur. Untuk itu, sejak 2009 lalu, sudah memberikan berbagai edukasi untuk meningkatkan industry batik di desanya.

“Di Sendangagung ada lebih dari 50 pengrajin batik, kemudian juga para pengusaha batik. Maka, kami memberikan edukasi untuk meningkatkan kemampuan mereka dari berbagai aspek membatik. Akhirnya adalah pada kualitas batik,” katanya.

Upaya edukasi dilakukan cukup serius, buktinya pemerintah desa mendatangkan ahli-ahli batik dari berbagai tempat lain. Mulai merencanakan batik, membuat motif, pencantingan, hingga pada tahap perwarnaan, sampai marketing.

Edukasi tidak hanya dilakukan pada para pelaku batik di desa saja, namun untuk mengenalkan serta memberikan pengetahuan batik Sendang ke dunia luar, Pemerintah Desa juga membuat wisata edukasi batik. Tentu, yang menjadi sasaran adalah para siswa sekolah dan mahasiswa. Hasilnya, Desa Sendangagung kerap kali mendapat kunjungan siswa dan mahasiswa dari berbagai daerah untuk belajar membatik.

“Selain itu juga ada even-even terkait batik dan juga UMKM lainnya. Kan di Sendangagung ini juga banyak UMKM, baik itu makanan, maupun jilbab. Bahkan juga ada kliner khas desa Sendang, yaitu Muduk,” katanya.

Even sebagai lahan promosi awalnya pada  2018 yaitu Festival Batik (Fesba). Acara yang bertajuk fashion batik ini melibatkan pada pengrajin hingga pengusaha batik di desa. “Mulai pembuatan motif, pengerjaan batik, menjahit, hingga modelnya adalah mereka para pengrajin dan pengusaha batik. Jadi ini konspepnya dari pengrajin, oleh pengrajin, dan untuk pengrajin,” jelas kepala desa yang sudah menjabat tiga periode ini.

Penguatan eksistensi Batik Sendang Lamongan dilakukan berbeda pada 2019 dalam Festival Sego Muduk dan Karnival Batik Sendangagung. Dalam festival sego muduk, menyuguhkan seribu bungkus nasi muduk gratis untuk para pengunjung dari luar desa Sendangagung. Dan khusus untuk batik, karnival menampilkan berbagai kreasi kostum sebagai maskot yang menggunakan unsur batik Sendang.

Pengerjaan mascot dilakukan sepenuhnya oleh warga di masing-masing RT, bahkan biaya untuk pembuatan maskot juga swadaya dari Masyarakat. Acara ini berhasil menarik perhatian warga termasuk luar desa Sendangagung dan bahkan luar Kecamatan Paciran. Selain itu juga mendapatkan perhatian dan apresiasi Bupati Lamongan.

“Namun, acara tidak bisa dilaksanakan pada 2020, 2021, dan 2022 karena pandemi Covid-19. Kemudian dilaksanakan lagi pada 2023. Antusias masyarakat juga sama. Namun, kami terus melakukan evaluasi dan mengembangkannya supaya bisa lebih baik lagi dan maksimal dalam mengangkat Desa Sendangagung dan batik Sendang,” kata Panut.

Upaya promosi Batik Sendangagung dilakukan berbeda pada 2024, di mana tidak lagi dalam bentuk karnival, namun dalam bentuk Sendangagung Batik Fashion 2024. Panut mengatakan, konsep pelaksanaannya dinilai lebih konferhensif, yaitu ada lomba cipta motif batik, aplikasi motif tersebut menjadi batik, kemudian dijahit menjadi busana, hingga peragaan busana atau fashion show.

“Sebelum lomba motif batik, kami memberikan pelatihan terlebih dulu pada warga sehingga mereka bisa membuat motif yang berkualitas. Selain itu kami juga menghadirkan juri-juri dari para pakar batik. Jadi yang ini, melibatkan semua unsur, mulai pengrajin, pengusaha batik, sampai penjahit,” jelasnya.

Akhirnya dalam even ini, berhasil menciptakan tiga motif batik baru dan sekaligus di-launching saat itu. Tiga motif baru itu adalah Rahayuning Sendangagung, Rontal, dan Sego Langgi. Panut menjelaskan ketiga motif itu bersumber dari kearifan lokal desa Sendangagung. Rahayuning Sendangagung menggambarkan kodisi sosial dan budaya desa Sendangagung. Rontal adalah motif yang terinspirasi dari daun lontar yang banyak tumbuh di Desa Sendangagung. Sedangkan Sego Langgi adalah menu nasi khas desa Sendangagung.

Maskot dalam karnival batik Desa Sendangagung
Maskot dalam karnival batik Desa Sendangagung

Kemudian pada 2025 ini kembali digelar Festival Sego Muduk dan Karnival Batik yang dilaksanakan pada 30 Juli lalu. Kalau sebelumnya dilaksanakan siang hari, kali ini mengambil momen malam hari. Hasilnya, kata Panut, cukup luar biasanya, kreasi-kreasinya lebih bagus dari tahun sebelumnya, dan juga mampu menarik perhatian massa lebih banyak.

Di sisi lain, Panut mengatakan hadirnya program Desa Berdaya dari Pemprov Jawa Timur sangat membantu termasuk dari sisi anggaran yang bisa dimanfaatkan. “Tapi yang penting adalah ide dan konsepnya. Bagi saya ide dan konsep Desa Berdaya membantu menunculkan ide baru supaya desa bisa berdaya. Dan akhirnya muncul tempat (Watungkal Edupark Sendangagung, WES) yang menjadi ikon desa Sendangagung di dalamnya bisa digunakan tempat kegiatan batik, edukasi batik, festival batik, dan juga memunculkan budaya baru karnival batik. Dua tahun sekali dan di sela itu ada Fesba,” katanya.

Berbagai kegiatan promosi tersebut setidaknya mampu mengangkat nama Desa Sendangagung dan juga Batik Sendang Lamongan. Salah satu dampaknya adalah batik Sendang tetap eksis ada, tetap diproduksi, dan makin diminati. “Untuk membantu marketing, kami juga berencana membuat ecommerce untuk batik dan produk UMKM lainnya,” kata pria 59 tahun ini.

Sementara itu, Fathur Rohim, salah satu pengusaha batik Sendangagung mengatakan bahwa sampai saat ini tetap berusaha mempertahankan motif batik zaman dulu seperti modang, gendagan, paten, gringsing, kawung, namkatil, dan lainnya. Namun, untuk menjawab permintaan pasar juga mengembangkan ke motif motif lain yang lebih kekinian.

“Slama ini yo jalan (terus produksi), pesanan yo ada, tapi ngarap (produksi) terus ada pesanan dan tidak ada juga. Pernah dapat dapat pesanan dari Bapenda Lamongan,” katanya.

Ternyata batik di Lamongan makin berkembang, buktinya selain di Desa Sendangagung dan Sendang Duwur, kini batik juga muncul di Desa Dekatagung, Kecamatan Sugio. Di tempat ini batik lahir dari tangan dingin pemuda Bernama Umbar Basuki. Pemuda 32 tahun ini mulai bergelut di dunia batik sejak lima tahun lalu.

“Memang dari awal dulu pas kebetulan dari S1 di STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta) Surabaya saat semester 7 memang ada keinginan untuk membuat batik tulis yang custom dan menyasar pasar anak-anak muda, tidak terpaku pekem dan saya buat yang kontemperer anak muda,” katanya Rabu (1/10/2025).

Umbar mengatakan keinginan di dunia batik ini tidak semata-mata untuk mencari keuntungan, namun menurutnya jika tidak ada anak muda yang peduli dan berkecimpung di batik maka tidak aka nada penerusnya lagi dan batik bisa hilang. Untuk mencapai sasaran anak muda ini, Umbar mulai mengedukasi ibu ibu rumah tangga terlebih dulu padahal mereka juga awam tentang batik tulis.

“Lamongan selatan terutama di Kecamatan Sugio ini saya mengedukasi orang-orang sekitar saya dulu. Saya sampaikan ke mereka  kenapa batik tulis mahal dan setelah tahu dan buat prosesnya mereka tahu dan itu mereka teredukasi. Lama kelaman dari mulut ke mulut banyak yang ingin tahu dan timbulnya orang-orang ingin belajar dan kemudian saya menyaring orang yang ingin belajar, ya saya ajari nyanting dan seterusnya,” ceritanya.

Kemudian, anak muda yang awalnya kurang tertarik akhirnya ada yang ingin belajar. Tahun pertama baru nyanting satu orang ibu. Kemudian saat ini Umbar sudah memberdayakan 6 bagian canting. “Sedangkan anak muda dibagian perwarnaan, bikin pola, mopok, nembok anak muda semua, desain itu saya sendiri,” katanya.

Untuk menjaga eksistensi batik, motif yang digunakan Umbar lebih mengikuti kemauan dari konsumen. Kemudian memodifikasi motif parang dan lainnya sehingga parang tidak terlihat tua dan tradisioal dan motif parang terlihat kekinian.

Saat ini, pemasaran batik produksi Umbar telah menjangkau berbagai daerah, bahkan sampai luar Jawa seperti Medan, Ternate, Samarinda, bahkan sampai Singapura. “Jadi motifnya flesibel dan bisa request,” kata pemuda yang mengantongi sertifikasi perancang motif itu.

Untuk menguatkan eksistensi Batik Lamongan, Pemkab Lamongan juga tidak tinggal diam. Wakil Bupati Lamongan, Dirham Akbar Aksara mengatakan Pemkab selalu memberikan dukungan pada batik sebagai budaya warisan leluhur.  “Untuk yang pertama ada even kegiatan Pemkab dan hari besar. Even itu ada stan UMKM kita selalu melibatkan pengrajin batik lokal untuk memasarkan. Kedua batik itu peninggalan tradisoonal dan harus dilestarikan. Kita tidak menutup diri dari  mengembangkan kesenian itu. Maka muncul batik kontemporer di Sugio dan batik pun bisa beradaptasi dengan zaman,” katanya.

Selain itu, juga mendukung even tahunan yang mengangkat batik dengan kegiatan yang lebih bisa diterima Masyarakat. Seperti Fertival Batik Sendangagung yang diadakan tiap tahun. Kemudian juga peragaan batik Sendangagung yang melibatkan hulu ke hilir.

“Kolaborasi juga dengan Dekranasda dan Iwapi, organisasi kesenian, dan wirasaha kita libatkan batik,” katanya.

Untuk pengembangan SDM, Pemkab juga melakukan pelatihan batik termasuk di desa Sendangagung. Dia menandaskan program pelatihan batik ini akan diprogramkan lebih baik, sehingga mampu melestaikan batik sebagai budaya khas.

“Setiap hari Kamis minggu pertama tiap bulan, kita mewajibkan ASN utnuk memakai batik khas Lamongan. Ini juga cara kami mengangkat batik,” katanya lagi.

Sementara itu, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa mengatakan atmosfer kebanggaan terhadap batik harus ditularkan kepada generasi muda agar tidak hanya mengenal, tetapi juga menjadikan batik bagian dari keseharian.

“Atmosfer seperti ini yang harus kita tularkan kepada generasi muda supaya ikut menjadikan batik sebagai simbol gaya hidup. Batik ini akar budaya yang tidak lekang waktu, bahkan tetap relevan dengan gaya hidup modern,” katanya dalam keterangan tertulis pada Kamis (2/10/2025).

Khofifah mengatakan saat ini, ada juga batik kekinian atau batik motif tradisional yang ditata ulang menjadi desain kontemporer atau motif yang lebih modern tapi tetap ada akar budaya yang melekat.

“Makanya setiap kali saya berkunjung ke kota kabupaten di Jatim saya berusaha untuk selalu beli batik, supaya update batik apa yang sedang tren. Bahkan beberapa hari lalu saat Misi Dagang di Palembang saya juga beli beberapa jenis batik khas sumatera selatan,” ungkapnya.

Atas pengalaman mengenali  batik sampai ke pelosok negeri itulah, tambah Khofifah, akhirnya memberikannya inspirasi membuat wastra karya motif Batik Gerbang Baru Nusantara, yang baru saja diluncurkan dalam rangkaian acara Jatim Fest 2025 yang diselenggarakan di Grand City Surabaya pada Senin (1/10/2025).

Lebih jauh, Khofifah menegaskan bahwa pelestarian batik juga bermakna menjaga identitas bangsa dan memperkuat persatuan. Pemprov Jatim bahkan telah mengeluarkan Pergub Jatim Nomor 15 Tahun 2025 yang mewajibkan seluruh ASN maupun non-ASN mengenakan batik pada Hari Batik Nasional.

“Hari ini, tanggal 2 Oktober, semua ASN dan non-ASN dilingkup Pemprov Jatim memakai pakaian batik. Mari kita bersama-sama ikut melestarikan identitas bangsa Indonesia dan memperkuat persatuan lewat batik,” pungkasnya. (*)

 

Reporter : Lutfiyu Handi
Editor : Arifin BH

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.