
SURABAYA (Lentera) - Tidak seperti model AI populer semacam ChatGPT, para peneliti di China mengembangkan sistem kecerdasan buatan baru yang meniru cara kerja neuron di otak. Inovasi ini diyakini dapat membuka peluang bagi lahirnya komputasi serta perangkat keras generasi mendatang yang lebih efisien dalam penggunaan energi.
Para peneliti dari Institut Automasi yang berada di bawah Akademi Ilmu Pengetahuan China (Chinese Academy of Sciences/CAS) meluncurkan "SpikingBrain-1.0", sebuah model berskala besar yang seluruh proses pelatihan dan inferensinya dijalankan dengan komputasi GPU produksi dalam negeri China.
Berbeda dengan sistem AI generatif arus utama (mainstream) yang bergantung pada arsitektur Transformer yang membutuhkan sumber daya besar, dengan kecerdasan berkembang seiring dengan semakin besarnya jaringan, anggaran komputasi, dan kumpulan data, model baru ini mengambil pendekatan yang berbeda, memungkinkan kecerdasan muncul dari neuron spiking.
Model ini memungkinkan pelatihan yang sangat efisien pada volume data yang sangat minim.
Dengan hanya menggunakan sekitar 2 persen dari data prapelatihan yang dibutuhkan oleh model besar mainstream, model ini mampu mencapai kinerja yang setara dengan beberapa model sumber terbuka (open-source) pada tantangan pemahaman bahasa dan penalaran, kata tim peneliti.
Dengan memanfaatkan neuron spiking yang dipicu oleh peristiwa pada tahap inferensi, salah satu varian SpikingBrain terbukti mampu meningkatkan kecepatan hingga 26,5 kali lipat dibandingkan arsitektur Transformer saat menghasilkan token pertama dari konteks yang terdiri dari satu juta token.
Kemampuan model ini dalam menangani urutan ultrapanjang memberikan keuntungan efisiensi yang jelas untuk berbagai tugas, seperti analisis dokumen hukum atau medis, eksperimen fisika partikel berenergi tinggi, dan pemodelan urutan DNA.
Tim peneliti telah menjadikan model SpikingBrain sebagai open-source dan meluncurkan halaman uji coba publik, sekaligus merilis laporan teknis dwibahasa berskala besar yang telah divalidasi oleh industri.
"Model berskala besar ini membuka jalur teknis non-Transformer untuk pengembangan AI generasi baru," sebut Xu Bo, direktur Institut Automasi. "Hal ini berpotensi menginspirasi desain cip neuromorfik generasi berikutnya dengan konsumsi daya yang lebih rendah."
Dilaporkan tahun lalu dalam jurnal Nature Communications, para ilmuwan dari institut tersebut, bekerja sama dengan kolega mereka di Swiss, mengembangkan sebuah cip neuromorfik berbasis sensorik-komputasi hemat energi yang dapat meniru neuron dan sinapsis otak manusia.
Cip yang diberi nama "Speck" ini memiliki konsumsi daya istirahat yang sangat rendah, hanya 0,42 miliwatt, yang berarti hampir tidak mengonsumsi energi sama sekali saat tidak ada input.
Otak manusia, yang mampu memproses jaringan saraf yang sangat kompleks dan luas, beroperasi hanya dengan konsumsi daya total sekitar 20 watt, jauh lebih rendah dibandingkan sistem AI saat ini.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber