DALAM negara demokrasi, menyampaikan pendapat merupakan hak fundamental setiap warga negara. Kritik bahkan menjadi bagian penting dari mekanisme kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah. Namun, hak tersebut harus dijalankan dengan cara yang santun, tertib, dan tidak menimbulkan tindakan anarkis. Belakangan ini, sejumlah aksi massa di berbagai daerah kerap berakhir ricuh. Kerusakan fasilitas umum, pembakaran kendaraan, hingga bentrokan dengan aparat membuat pesan utama aksi sering tereduksi. Padahal, substansi aspirasi masyarakat seharusnya bisa menjadi masukan berharga bagi pengambil kebijakan. Presiden Prabowo Subianto, dalam keterangan resminya pada Minggu (31/8/2025), menegaskan bahwa pemerintah menghormati kebebasan berpendapat sesuai United Nations International Covenant on Civil and Political Rights Pasal 19 serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Aspirasi yang disampaikan secara damai, kata Presiden, harus dihormati dan dilindungi. Namun, ia mengingatkan adanya gejala tindakan di luar hukum, bahkan yang mengarah pada makar dan terorisme. Karena itu, Presiden memerintahkan kepolisian dan TNI untuk bertindak tegas terhadap segala bentuk kerusakan fasilitas umum, penjarahan, maupun tindak anarkis lainnya sesuai hukum yang berlaku. Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa Polri tidak melarang masyarakat menyampaikan pendapat, tetapi ada aturan yang harus dipatuhi. Hak masyarakat untuk berpendapat tetap dijamin, namun tidak boleh merusak fasilitas umum karena yang dirugikan adalah masyarakat sendiri. Kebebasan berpendapat adalah hak, tetapi menjaga ketertiban merupakan kewajiban bersama. Demokrasi tidak akan berkembang dalam suasana penuh kekerasan. Karena itu, masyarakat diharapkan tetap kritis dan berani menyampaikan gagasan, namun dengan cara yang beradab. Pada akhirnya, demokrasi yang sehat hanya akan lahir jika kritik berjalan seiring dengan etika dan kepatuhan hukum. BACA BERITA LENGKAP, KLIK DISINI https://lentera.co/upload/Epaper/01092025.pdf