04 August 2025

Get In Touch

Guru Besar Hukum Tata Negara: Abolisi dan Amnesti Hak Konstitusional Presiden

PROF.DR.JUANDA,SH.MH GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS ESA UNGGUL JAKARTA
PROF.DR.JUANDA,SH.MH GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS ESA UNGGUL JAKARTA

JAKARTA (Lentera) — Pemberian abolisi dan amnesti merupakan hak konstitusional Presiden yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 dan UU Darurat 11 Tahun 1954. Hal itu ditegaskan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul Jakarta, Prof. Dr. Juanda, SH, MH.

"Abolisi merupakan kebijakan hukum dari Presiden untuk menghentikan proses hukum terhadap seseorang terdakwa dengan pertimbangan dan persetujuan DPR. Artinya perbuatannya tetap ada tetapi dihentikan proses penuntutan dengan alasan untuk karena kepentingan negara," terangnya dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu (2/8/2025).

Ia mengatakan hal itu menanggapi pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan amnesti untuk Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristianto.

"Sedangkan Amnesti kebijakan hukum dari Presiden sebagai Kepala Negara untuk menghapus hukuman pidana terhadap seorang terpidana Jadi Amnesti meniadakan hukuman pidana sehingga perbuatan pidana dianggap tidak pernah ada," imbuhnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Sabtu (2/8/2025).

Terkait persoalan apakah abolisi itu tepat diberikan kepada Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristianto, menurut Juanda, secara akademis hal itu bisa diperdebatkan tergantung perspektif masing-masing.

"Bisa saja ada pakar yang mengatakan tepat tetapi ada juga yang berpendapat tidak. Yang jelas secara subjektif itu hak Presiden dan oleh karena itu pasti ada alasan alasan hukum dan politik," dibalik pemberian "abolisi atau amnesti tersebut, tegasnya. 

Ia lantas menjelaskan bahwa alasan hukum pemberian abolisi dan amnesti bisa jadi berdasar pada UUD 1945 dan undang-undang yang berlaku bahwa Presiden ingin memberikan keadilan kepada yang bersangkutan terdakwa atau terpidana. 

Namun, ia menegaskan bahwa pemberian keadilan ini tidak tunggal atau terlepas dengan persoalan pertimbangan politik praktis.

"Apalagi Hasto adalah masih berstatus sebagai Sekjen PDI Perjuangan tentu bisa dikait-kaitkan dengan status jabatan politik  beliau yang sangat strategis sebagai Sekjend PDIP dan kuatnya pengaruh  Ketumnya PDIP yaitu Megawati Soekatno Putri. Bisa jadi Presiden Prabowo S mempertimbangkan secara politik pentingnya membangun hubungan yang baik serta mengobati kekecewaan Megawati Soekarno Putri terhadap proses hukum yang terjadi terhadap Hasto yang sangat penting bagi PDIP dan Ketumnya dalam mengelola PDIP di masa lalu, saat ini  dan di masa datang. Faktanya sampai amnesti diberikan dan kongres PDIP di Bali usai  Jabatan Sekjend masih  dikosongkan. Belum diisinya jabatan sekjend tersebut memberikan sinyal bahwa itu tetap diperuntukkan untuk Hasto.   Kalau hanya alasan politik semata saya pikir kebijakan amnesti tersebut kurang tepat dan tidak adil hanya diberikan kepada Hasto,  Dapat saja kecemburuan dengan terpidana yang lain. Apalagi Hasto adalah terpidana soal kasus Korupsi, menurut kacamata hukum saya seharusnya untuk terpidana korupsi amnesti tdk diberikan, walaupun itu hak Presiden. Esensi kebijakan hukum amnesti itu pd dasarnya diperuntukan untuk para  terpidana politik, subversif  dengan pertimbangan untuk   memulihkan  kstabilan politik dalam negeri  yang sedang bergejolak , demi keutuhan bangsa dan negara maka amnesti diberikan. Sementara Hasto itu bukan terpidana politik, tetapi terpidana  korupsi yang dilakukan oleh pejabat elit politik.

Pakar Hukum Tata Negara yang dikenal sangat objektif ini melanjutkan bahwa, dari aspek kestabilan politik saat ini masih cukup stabil dan tidak ada potensi disintegrasi bangsa, oleh karena itu akibat amnesti ini diberikan kepada Hasto  terpidana korupsi ini  dapat menimbulkan berbagai penafsiran-penafisaran subjektif dari pihak-pihak tertentu,"  tuturnya. 

Terkait pemberian abolisi kepada Tom Lembong, Juanda menilainya sebagai kebijakan hukum yang terlambat. Seharusnya dari sejak awal sebelum memasuki tuntutan, Presiden langsung memberikan abolisi jika melihat dan menilai Tom Lembong layak diberikan, jika alasan hukumnya karena perbuatan  hukum  Tom Lembong saat menjabat Menteri tahun 2015-2016 ada manfaat dan keuntungannya untuk  negara atau diduga merugikan negara  tetapi alasannya untuk kepentingan negara bisa saja diberikan Abolisi.

"Terlalu lama sampai 9 bulan itu baru diberikan. Bahkan sudah diputuskan oleh Pengadilan. Agak terlambat tim hukum Istana memberikan masukan kepada Presiden. Namun demikian, demi keadilan dan tegaknya prinsip negara hukum lebih baik terlambat daripada tidak diberikan," katanya.

Soal apakah ada atau tidak intervensi politik, Juanda berpendapat, mau tidak mau suka atau tidak suka dalam setiap pemberian abolisi dan amnesti sulit dihindari dari kata intervensi. 

"Sudah pasti itu tindakan hukum Presiden yang memang beraspek politik. Intervensi yang dibenarkan oleh konstitusi dan UU yang berlaku," katanya. 

Tidak ada yang salah apa yang dilakukan oleh Presiden Prabowo dalam hal abolisi dan amnesti, karena memang wewenang Presiden dan intervensi itu  dibenarkan oleh hukum". 

Tinggal persoalannya apakah alasan alasan yang disampaikan oleh Menteri Hukum memenuhi kreteria dan  persyaratan yang dipersyaratkan untuk Abolisi dan Amnesti  dapat diterima dalam perpesktif argumentasi hukum objektif atau tidak, masih menyisakan perdebatan secara akademis dan parktis. pungkasnya.

Co-Editor: Nei-Dya/rls

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.