
BATU (Lentera) - Wali Kota Batu, Nurochman, menyebut hanya sekitar 7.600 hektare (Ha) lahan di wilayahnya yang masih tersedia untuk kegiatan investasi. Di tengah keterbatasan tersebut, Pemkot Batu menegaskan fokus pada pembangunan berkelanjutan sebagai landasan kebijakan penanaman modal.
"Hanya sekitar 40 persen dari total wilayah Kota Batu yang masih dapat dimanfaatkan untuk investasi. Sisanya sudah menjadi kawasan permukiman dan lahan pertanian yang dilindungi. Jadi, tersisa hanya sekitar 7.600 hektare," ujar pria yang akrab disapa Cak Nur, dikutip pada Minggu (3/8/2025).
Untuk diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total luas wilayah administratif Kota Batu tercatat seluas 19.087,72 hektare. Dari jumlah tersebut, luas lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan investasi terbatas hanya sekitar 40 persen, atau sekitar 7.635 hektare.
Cak Nur menjelaskan, Pemkot Batu menetapkan beberapa prinsip utama dalam menarik investasi berkelanjutan. Yakni kepatuhan terhadap regulasi lingkungan, penyediaan ruang terbuka hijau, serta pengelolaan air hujan melalui pembangunan sumur resapan.
"Kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk menjaga lingkungan hidup, tetapi juga untuk melindungi nilai investasi dari potensi risiko bencana, serta memastikan penggunaan APBD yang lebih efisien," katanya.
Sementara itu, data BPS Kota Batu tahun 2020 mencatat dari total penggunaan lahan seluas 19.908,70 hektare, sebagian besar wilayah didominasi oleh lahan pertanian, baik sawah maupun non-sawah.
Kondisi ini diakui Cak Nur, menunjukan ruang untuk ekspansi investasi memang terbatas, sekaligus memperkuat pentingnya menjaga keseimbangan tata ruang dalam pembangunan.
Dalam data tersebut, lahan sawah mencakup 2.427,69 hektare, sementara lahan pertanian bukan sawah mencapai 15.258,09 hektare. Adapun penggunaan lahan untuk kepentingan non-pertanian sebesar 2.222,93 hektare.
Lahan sawah terluas berada di Kecamatan Junrejo dengan luasan 1.028 hektare. Sementara itu, Kecamatan Bumiaji memiliki lahan pertanian bukan sawah paling luas, yakni 11.393,75 hektare. Adapun lahan non-pertanian paling besar tercatat di Kecamatan Batu, yakni 1.393,06 hektare.
Dalam menghadapi keterbatasan lahan, Cak Nur mengaku tengah berupaya menarik minat investor melalui penyederhanaan dan percepatan proses perizinan.
Mulai dari penyesuaoan terhadap Dasar Pengenaan Pajak (DPP), serta standar Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dilakukan agar lebih adaptif terhadap kondisi di lapangan.
"Kami ingin menghapus persepsi bahwa proses perizinan di Kota Batu itu sulit. Makanya mulai saat ini, perizinan dibuat lebih transparan dan efisien karena melibatkan lebih dari satu konsultan," jelas Cak Nur.
Upaya ini, disebutnya mulai menunjukkan hasil. Dalam satu tahun terakhir, realisasi investasi di Kota Batu tercatat meningkat dua kali lipat. Dari Rp800 miliar pada Kuartal II tahun 2024, menjadi Rp1,6 triliun pada Kuartal II tahun 2025.
"Banyak lahan tidur yang kini menjadi produktif. Ini menunjukkan bahwa kemudahan perizinan serta komunikasi intensif dengan investor memberi dampak nyata," ucapnya.
Ke depan, pihaknya berrncana akan melakukan pemantauan berkala selama tiga hingga enam bulan terhadap setiap proyek investasi. Guna memastikan seluruh komitmen yang telah disampaikan investor benar-benar terealisasi.
"Setiap komunikasi yang kami fasilitasi harus diikuti oleh aksi konkret. Jika ditemukan pelanggaran atau itikad tidak baik, maka kami tidak akan ragu untuk mengambil tindakan tegas," tutupnya.
Reporter: Santi Wahyu/Editor:Widyawati