
SURABAYA (Lentera) – Polemik pembongkaran bangunan lama di Jalan Raya Darmo, Surabaya, akhirnya dijawab tuntas oleh para ahli. Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya, Retno Hastijanti, memastikan bangunan yang dibongkar tersebut tidak termasuk dalam daftar resmi cagar budaya yang dilindungi.
“Bangunan itu bukan cagar budaya. Kami memang pernah mengirim surat kepada pemilik untuk mengajak berkoordinasi secara partisipatif, tapi bukan karena bangunan itu berstatus dilindungi,” kata Retno saat konferensi pers di Kantor Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya, Rabu (4/6/2025).
Retno menegaskan lokasi bangunan tersebut tidak berada di dalam kawasan yang telah ditetapkan sebagai zona cagar budaya.
Menurutnya, pembongkaran itu sebenarnya bermasalah bukan karena alasan pelestarian warisan sejarah, melainkan terkait pelanggaran Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
“Masalahnya bukan pada status cagar budaya, tapi pada pelanggaran IMB. Ada ketidaksesuaian dokumen, sehingga pembongkaran sempat dihentikan sementara waktu,” tegasnya.
Bangunan yang berdiri sejak era 1980-an itu memang dikenal masyarakat karena letaknya yang strategis di kawasan elit kota. Namun, dari sisi nilai sejarah, arsitektur, maupun budaya, dinilai tidak memenuhi kriteria sebagai cagar budaya.
Sementara itu, Pemerhati sejarah Kota Surabaya, Kuncharsono Prasetyo, turut mendukung pernyataan tersebut. Ia menilai bangunan yang dibongkar tidak memiliki kekhasan arsitektur maupun nilai historis yang layak dilestarikan.
“Kalau cuma bangunan lama, belum tentu masuk cagar budaya. Harus memenuhi tiga syarat utama: usia di atas 50 tahun, memiliki arsitektur khas, dan nilai sejarah penting. Bangunan itu tidak memenuhi salah satunya,” ucapnya.
Ia juga membantah keabsahan pelakat yang sempat tertempel di bangunan tersebut.
“Nomor registrasi di pelakatnya tidak sesuai dengan daftar resmi situs cagar budaya. Itu bukan tanda resmi. Jadi wajar jika pemilik memutuskan untuk membongkarnya,” tambahnya.
Meski demikian, Kuncharsono mengingatkan agar pembangunan pengganti tetap memperhatikan estetika kawasan.
"Boleh dibongkar, tapi pembangunan barunya tidak bisa sembarangan. Harus menyesuaikan fasad, tinggi bangunan, dan karakter lingkungan. Ini penting agar wajah kota tetap harmonis,” tutupnya. (*)
Reporter: Amanah
Editor : Lutfiyu Handi