
SURABAYA (Lenteratoday) - Perayaan Idul Adha adalah momen penuh berkah dan kebahagiaan, bagi umat Islam di seluruh dunia.
Tak hanya penyembelihan hewan kurban dan pembagian daging, perayaan Idul Adha di Indonesia juga dimeriahkan berbagai tradisi unik yang penuh makna mencerminkan kekayaan budaya bangsa.
Tradisi ini tidak hanya wujud bentuk rasa syukur atas nikmat kurban, tetapi juga mempererat tali persaudaraan dan gotong royong antar sesama umat muslim di Indonesia.
Mulai dari Meugang di Aceh, tradisi Apitan di Semarang, hingga tradisi Idul Adha di Jatim seperti Manten Sapi di Pasuruan. Tradisi-tradisi ini tak hanya memanjakan mata dan lidah, tetapi juga sarat makna dan nilai-nilai luhur yang patut dilestarikan.
Beragam Tradisi Idul Adha di Indonesia, Termasuk di Jawa Timur. Dirangkum dari berbagai sumber dirilis dari detikJatim.com, Sabtu(15/6/2024) berikut sejumlah tradisi masyarakat Indonesia saat menyambut Hari Raya Idul Adha.
1. Meugang di Aceh
Tradisi Meugang, yang berasal dari kata Makmeugang, sangat dikenal masyarakat Aceh, terutama menjelang hari-hari besar keagamaan. Tradisi ini berlangsung selama ratusan tahun dan biasanya ditandai dengan acara makan bersama daging sapi atau kerbau yang dimasak dengan berbagai cara.
Mendekati perayaan hari besar agama Islam, banyak pedagang daging di Aceh mulai menjual daging-daging segar yang digantung dijajakan kepada masyarakat.
Sejarah Meugang berakar dari masa kerajaan Aceh, di mana hewan dipotong dan dagingnya dibagikan gratis kepada masyarakat sebagai simbol syukur atas kemakmuran. Hingga kini tradisi ini terus dilestarikan masyarakat Aceh sebagai bentuk perayaan dan syukur menyambut hari-hari suci umat Islam.
2. Apitan di Semarang
Di Semarang, tradisi Apitan dirayakan setiap Idul Adha sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki dari Yang Maha Esa, terutama hasil bumi. Tradisi ini melibatkan pembacaan doa dan dilanjutkan dengan pawai hasil pertanian dan ternak.
Masyarakat setempat akan berebut mengambil hasil tani yang diarak itu. Tradisi Apitan dipercaya berasal dari kebiasaan para Wali Songo sebagai bentuk syukur saat Idul Adha.
Selain gunungan hasil tani dan arak-arakan ternak, tradisi ini juga menampilkan hiburan khas kearifan lokal. Tradisi unik nan meriah ini tentunya sangat menarik untuk disaksikan.
3. Grebeg Gunungan di Yogyakarta
Tradisi Grebeg Gunungan yang dirayakan masyarakat Yogyakarta ini sekilas mirip tradisi Apitan dari Semarang. Pada acara ini, umat Muslim di Yogyakarta akan mengarak hasil bumi dari halaman Keraton ke Masjid Gede Kauman. Arak-arakan ini terdiri dari 3 gunungan yang tersusun dari berbagai sayuran dan buah-buahan.
Di Yogyakarta, tradisi ini diadakan pada setiap hari besar agama Islam. Grebeg Syawal diadakan saat Idul Fitri, sementara Grebeg Gunungan diselenggarakan pada perayaan Idul Adha. Penduduk setempat meyakini bahwa mendapatkan hasil bumi dari gunungan tersebut dapat membawa rezeki.
4. Manten Sapi di Pasuruan
Tradisi Manten Sapi adalah kegiatan unik yang dilakukan oleh masyarakat Pasuruan sebagai ungkapan syukur dan penghormatan terhadap hewan kurban. Dalam tradisi ini, sapi yang akan disembelih didandani layaknya pengantin, lengkap dengan hiasan bunga tujuh rupa, kain kafan, serban, dan sajadah.
Kain kafan melambangkan kesucian dari orang yang berkurban. Setelah dihias, sapi-sapi tersebut diarak menuju masjid setempat untuk diserahkan kepada panitia kurban.
Yang membuat tradisi ini semakin berkesan adalah daging sapi kurban yang kemudian diolah dan dinikmati bersama, menciptakan rasa kebersamaan yang sangat mendalam.
5. Gamelan Sekaten di Cirebon
Di Cirebon, terdapat sebuah tradisi unik dalam merayakan Idul Adha yang dipercaya sebagai bagian dari dakwah Sunan Gunung Jati, penyebar agama Islam di daerah tersebut. Tradisi ini dikenal sebagai Gamelan Sekaten, yang dimainkan setiap perayaan hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha.
Alunan musik Gamelan yang terdengar di sekitar area Keraton Kasepuhan Cirebon menjadi tanda bahwa masyarakat Muslim Cirebon sedang merayakan hari kemenangan. Gamelan ini mulai dimainkan sesaat setelah Sultan Keraton Kasepuhan keluar dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
6. Mepe Kasur di Banyuwangi
Banyuwangi, terkenal dengan keindahan alamnya yang memukau, juga memiliki tradisi khas yang dilakukan saat Idul Adha, yaitu Jemur Kasur atau Mepe Kasur. Tradisi unik ini dilakukan oleh suku Osing di Desa Kemiren, Glagah, Banyuwangi.
Acara dimulai dengan Tari Gandrung, diikuti dengan penjemuran kasur. Pada hari tersebut, semua warga menjemur kasur mereka di depan rumah dari pagi hingga sore.
Keunikan dari kasur-kasur ini adalah warnanya yang khas, yaitu hitam dan merah. Hitam melambangkan kekekalan, sedangkan merah melambangkan keberanian. Tradisi ini diadakan menjelang hari raya kurban dengan tujuan untuk menolak bala dan menjaga keharmonisan rumah tangga.
7. Accera Kalompoang di Gowa
Di Sulawesi Selatan, khususnya di Gowa, ada sebuah tradisi yang sangat sakral dalam perayaan Idul Adha yaitu Accera Kalompoang. Tradisi ini dilaksanakan selama 2 hari berturut-turut, dimulai sehari sebelum Idul Adha dan dilanjutkan pada hari raya itu sendiri.
Acara ini adalah upacara resmi pembersihan benda-benda bersejarah peninggalan Kerajaan Gowa yang dilakukan di Istana Raja Gowa atau Rumah Adat Balla Lompoa. Perayaan Idul Adha melalui tradisi ini juga berfungsi sebagai upaya untuk mempererat hubungan antara keluarga kerajaan dan pemerintah.
8. Toron dan Nyalase di Madura
Masyarakat Madura punya tradisi khas saat Hari Raya Idul Adha. Penduduk Madura yang bekerja atau tinggal di luar daerah akan kembali ke kampung halaman mereka. Sebuah kegiatan yang dalam bahasa Madura disebut sebagai "toron."
Setelah toron, warga Madura juga menjalankan tradisi nyalase. Dalam bahasa Madura nyalase berarti nyekar atau berziarah ke makam leluhur untuk mendoakan mereka. Nyalase biasanya dilakukan usai pelaksanaan salat Idul Adha.
Tradisi ini memperlihatkan kuatnya ikatan kekeluargaan dan penghormatan terhadap leluhur dalam budaya masyarakat Madura.
9. Ngejot di Bali
Selain dikenal sebagai destinasi pariwisata yang memukau, Bali juga terkenal akan semangat toleransi beragamanya. Perbedaan keyakinan di masyarakat Bali justru menginspirasi terciptanya tradisi yang sarat makna, seperti tradisi ngejot.
Tradisi ini menjadi bagian rutinitas umat beragama di Bali untuk merayakan hari penting dalam kehidupan keagamaan mereka, termasuk perayaan Idul Adha.
Warga Muslim di Bali melaksanakan ngejot dengan berbagi makanan, minuman, dan buah-buahan kepada tetangga non-Muslim mereka sebagai bentuk ungkapan syukur atas toleransi yang tinggi dalam beragama.
Ngejot telah menjadi bagian dari warisan turun-temurun di Bali dan tetap dilestarikan hingga kini. Jika detikers berlibur di Bali, jangan heran menemui momen-momen berharga dari tradisi ini.
10. Kaul Negeri dan Abda'u di Maluku Tengah
Di Maluku Tengah, warga dari Negeri Tulehu mempertahankan tradisi Kaul Negeri dan Abda'u yang khas. Ritual ini dimulai setelah shalat Idul Adha, di mana pemimpin adat dan agama membawa tiga ekor kambing dengan kain sebagai simbol keberkahan.
Mereka berjalan mengelilingi desa sambil mendoakan dan mengucap takbir menuju masjid sebelum proses penyembelihan dimulai setelah Ashar. Perayaan yang telah diwariskan turun-temurun ini bertujuan untuk mengusir bencana dan memohon perlindungan kepada Tuhan.
11. Gamelan Sekaten di Surakarta
Tradisi Gamelan Sekaten di Surakarta, mirip dengan yang ada di Cirebon, menunjukkan pengaruh yang kuat dari Wali Songo terhadap kehidupan masyarakat Jawa. Salah satu contohnya adalah upacara gamelan sekaten yang diadakan di Surakarta.
Tradisi ini tidak hanya terbatas pada perayaan Idul Adha, tetapi juga menjadi bagian dari perayaan Idul Fitri dan Maulid Nabi Muhammad saw. Pada perayaan Idul Adha, musik gamelan dimulai setelah shalat Idul Adha selesai.
Acara ini terbuka untuk umum, sehingga sangat cocok untuk dimasukkan ke dalam agenda liburan di Surakarta. Para penonton gamelan sekaten sering kali mengunyah kinang, karena mereka percaya hal ini akan memberikan umur panjang sehingga mereka bisa terus menyaksikan tradisi ini setiap tahunnya.
Dengan beragam tradisi yang meriah dan kaya makna ini, perayaan Idul Adha di Indonesia tidak hanya menghadirkan kebersamaan dan syukur, tetapi juga memperkaya budaya yang patut kita jaga dan lestarikan untuk generasi mendatang.
Editor:Ais