
MALANG (Lenteratoday) - Pengamat Politik UB, Wawan Sobari, S.IP., MA., PhD, menyebut, oposisi tidak hanya berarti 'tidak setuju,' melainkan bagaimana partai politik dapat tetap berperan dalam mengontrol kebijakan pemerintahan koalisi.
Hal itu disampaikan pada acara Bincang Santai (Bonsai) Bersama Pakar di Universitas Brawijaya (UB) pada Selasa (27/2/2024). Ia menyoroti esensi keberadaan oposisi dalam menjaga keseimbangan pemerintahan Indonesia ke depan.
Wawan menekankan, pentingnya oposisi yang kuat untuk memastikan pengambilan keputusan di legislatif didasarkan pada konsensus, bukan kepentingan politik koalisi semata. Menurutnya, dengan mengedepankan konsensus, diharapkan keputusan yang diambil dapat lebih mencerminkan aspirasi yang lebih luas dan meminimalkan ketegangan atau konflik di dalam suatu pemerintahan.
"Jadi pihak oposisi yang kuat, itu yang paling penting. Agar kebijakan yang diambil pemerintah itu ada yang mengontrol. Bukan berdasarkan kepentingan politik koalisi. Di situlah warna oposisi dibutuhkan," ujar Wawan.
Menurutnya oposisi dianggap sebagai penyeimbang yang mendorong terciptanya pemerintahan yang sehat. Dalam hal ini, dosen Ilmu Politik FISIP UB tersebut mengkritisi adanya dominan koalisi dalam mengendalikan pemerintahan saat ini. Selain itu menurutnya, keberadaan oposisi dalam pemerintahan juga dapat menghindari terjadinya politik kartel.
"Kalau bangunan pemerintahan tidak ada oposisi, resikonya adalah poltiik kartel, dan ini bahaya. Risiko politik kartel ini nanti menyebabkan adanya manipulasi proses politik, konsentrasi kekuasaan, persaingan terbatas, adanya koordinasi dan kerjasama, adanya perilaku mencari keuntungan pribadi atau golongan, kemudian bahkan korupsi dan nepotisme," jelasnya.
Diketahui saat ini, berdasarkan hasil hitung cepat sementara, partai oposisi seperti PDIP dan PKS menurutnya memang kurang kuat di parlemen. Namun, Wawan berpendapat bahwa oposisi tidak harus terbatas pada perolehan suara di parlemen.
Penggunaan narasi-narasi yang terus disuarakan kepada publik, sambungnya, masih dapat menjadi alat efektif oposisi untuk mempengaruhi opini dan memastikan bahwa pemerintahan tetap terbuka terhadap negosiasi.
"Kalau melihat angka, memang jelas kalah. 25 persen dibanding dengan 75 persen dari parpol koalisi yang mengusung paslon 02. Tetapi, narasi seperti hak angket, kalau itu pelan-pelan dirasionalkan, ya publik akan berpikir kalau memang itu perlu," tegasnya.
Terpisah, Pakar Hukum Pemilu UB, Prof. Dr. Muchamad Ali Safaat, menambahkan, meskipun suara oposisi saat ini mungkin kurang mendominasi. Namun kehadiran oposisi masih penting dalam memperpanjang proses diskusi pembuatan kebijakan publik. Menurutnya, Oposisi dapat memberikan sumbangan berharga dengan memperluas waktu diskusi agar berbagai aspirasi masyarakat dapat dipertimbangkan.
Dalam pandangannya, suara oposisi di parlemen sangat diperlukan untuk menjaga kualitas diskusi, mencegah pengambilan keputusan yang tergesa-gesa, dan meminimalkan potensi ketidakpuasan masyarakat yang dapat berujung pada aksi demonstrasi.
"Karena kalau tidak ada, ujug-ujug kebijakan disahkan, masyarakat demo kemudian. Jadi menurut saya sangat diperlukan suara oposisi dalam parlemen ini atau dalam narasi yang disebutkan oleh Pak Wawan tadi," ungkap Prof. Ali.
Reporter: Santi Wahyu|Editor: Arifin BH