
MALANG (Lenteratoday) - Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) RI, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, memberikan penjelasan terkait pernyataan Presiden Joko Widodo, yang menegaskan haknya untuk berkampanye dan berpihak dalam Pemilu 2024. Dalam kunjungan kerjanya ke wilayah Malang Raya, Moeldoko menguraikan, bila penilaian dapat dilihat dari banyak aspek, seperti sumpah jabatan dan aspek hukum.
Dilihat dari aspek sumpah jabatan Presiden Jokowi sebagai pemimpin negara, Moeldoko menegaskan kewajiban Presiden untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya sebagai pejabat publik. Pelayanan seadil-adilnya harus diberikan tanpa memandang afiliasi partai atau individu.
Di sisi lain, Moeldoko menjelaskan bahwa Presiden, sebagai figur politik, memiliki hak politik yang diatur dalam Undang Undang Pemilu. Menurutnya, UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, dalam pasal 299 ayat 1 secara tegas menyatakan bahwa Presiden, Wakil Presiden, para Menteri, dan seluruh pejabat publik berhak untuk melakukan kampanye.
"Itu secara undang-undang seperti itu. Kemudian kita ini kan negara hukum, negara demokrasi, patokannya ya hukum. Jadi jangan kemana-mana. Orientasinya, standardnya hukum. Jangan diukur standar perasaan, ya nggak ketemu. "Oh rasanya nggak cocok," dan seterusnya. Jangan rasanya, kita ini negara hukum. Dalam UU Pemilu sangat clear. Yang penting sepanjang satu, tidak boleh menggunakan fasilitas negara," ujar Moeldoko, Jumat (26/1/2024).
Lebih lanjut, KSP Moeldoko menanggapi pertanyaan tentang etika kampanye yang akan dilakukan oleh seorang Presiden. Menurutnya, undang-undang tidak mengatur hal tersebut, dan penilaian etika bersifat subjektif. Dengan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, Moeldoko mengajak masyarakat untuk tidak membuat asumsi dan tetap berpatokan pada hukum yang berlaku.
"Etis atau tidak etis kan persepsi. Jadi sekali lagi, kita negara hukum, bukan negara asumsi. Nggak boleh kita seperti itu. Jadi ini juga memberikan pemahaman kepada kita semuanya bahwa jangan "nggak boleh ini, nggak boleh itu," kan ini undang-undang yang kita pegang. Standar berangkat kita harus dari undang-undang, jangan dari perasaan, jangan dari asumsi, jangan dari macam-macam," paparnya.
Mengenai kemungkinan Presiden akan mengambil cuti apabila memutuskan untuk ikut untuk berkampanye, Moeldoko mengingatkan agar masyarakat tidak berspekulasi terlalu cepat. Kendati demikian, pihaknya juga menjelaskan terkait dengan struktur pemerintahan saat Presiden cuti. Menurutnya, Wapres atau pejabat yang ditunjuk akan mengambil alih fungsi pemerintahan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
"Kalau seandainya Presiden cuti, kan cutinya hanya pada saat kampanye. Paling satu sampai dua hari. Itu seandainya. Saya tidak mengatakan, Presiden akan kampanye ya. Karena saya belum ada arahan untun itu. Tetapi sekali lagi bahwa konteks yang disampaikan Presiden itu bukan serta merta Presiden menyiapkan dirinya untuk berkampanye. Tapi ini sebuah kondisi yang menjawab situasi yang berkembang. Ini dipahami seperti itu konteksnya," tukasnya.
Reporter: Santi Wahyu|Editor:widyawati