20 April 2025

Get In Touch

TAQWA TANPA TANYA

TAQWA TANPA TANYA

Gus Adhim
Pimpinan Ponpes SPMAA Sumatera Selatan

Setiap hari dalam bulan suci, terutama di tepi sesi Ramadhan seperti ini, saya selalu terkenang kepada Abi Bapak Guru MA. Muchtar. Beliau bapak saya, guru, mentor, sekaligus pengaya nutrisi ruhani keluarga kami. Saya ingat, setiap usai khataman al Quran, jelang sahur berbuka, kultum tarawih, dan selama aktifitas puasa, beliau selalu mendampingi kami dengan energi refleksi pelajaran

Satu diantara pertanyaan yang selalu beliau sampaikan kepada kami sekeluarga adalah “sudah dapat manfaat dan pelajaran apa saja selama sebulan berpuasa?”

Biasanya kami diam sambil menunggu beliau memberikan dawuh lanjutan. Sebab kami paham pertanyaan itu bukan untuk dijawab asal-asalan. Tetapi pertanyaan yang memberi kami kesempatan refleksi perenungan. Terutama jika dikaitkan dengan tujuan perintah puasa berkewajiban; supaya bisa taqwa.

Abi kemudian menjelaskan arti TAQWA yang bila diurai dari kata semiotika maknawinya menjadi empat huruf saja, yakni TA’-QOF-WAU-YA. Ta’ berarti Tawadluk. Qof bermakna Qonaah. Wau itu wira’i dan Ya’ adalah Yaqin.

Bila hakikat TAQWA sudah menjelma pada kita, maka pribadi ini akan memiliki sifat rendah hati (tawadluk), neriman ing paringan Gusti Allah Maha Rahman (qonaah), berhati-hati dalam ucapan, pikiran, tindakan (wirai), serta berserah tunduk taat percaya pada setiap perintah atau larangan Allah SWT (yaqin).

Sampai pada penjelasan itu, biasanya saya jadi baper malu. Sebab saya masih suka latah bertanya: “menu sahur apa”, “berapa menit lagi waktu berbuka”. Hal-hal pertanyaan soal yang normal. Manusiawi terjadi pada rutinitas terjadwal. Namun jika diterawang dari makna tawadluk dan qonaah, masih jauh dari ideal.

Jika dikaitkan dengan suasana kekinian, pasti banyak tanya lagi dalam hati berisikan curhatan kegelisahan. Pertanyaan paling sering biasanya “apakah bangsa kita sedang dijauhi Allah SWT kok sampai terjadi kondisi negeri anomali begini ?”

Saya merasa berdosa karena sudah bertanya dengan prasangka kepada Allah SWT dan kehilangan sikap ketawadlukan. Pun ketika ingin berontak teriak di puncak kekesalan merasakan gaya jenaka semrawutnya kelola negara, saya seolah diajak masuk kuliah kelas qonaah. Saya kemudian terinsyafkan muhasabah dan berusaha mengambil hikmah; Ya sudah terserah.

Saya niati tupoksi semula, yakni fokus mengelola keluarga. Pembelajaran qonaah saya ejawantah dalam pasrah ketawadlukan kepada Maha Kecerdasan dan Kuasa Allah Azza wa Jalla. Sambil itu saya tetap tawadluk bertirakat taat ikut protokol sehat sesuai anjuran pemerintah dan qonaah menjalankan ibadah; mengaktifkan Ramadhan di lingkungan rumahan.
Lalu saya teringat kepada Abi tentang praktik sikap dan sifat wira’i. Beliau sering menangis karena memikirkan kekuatiran tuntutan saat di hari akhirat, terutama dari dosa yang tidak terkira sebelumnya ketika di dunia.

Saya kemudian baru sadar bila jempol ibu jari ini kerap luput kontrol informasi dengan like, ngember, click and share. Di layar virtual, lalu lintas media sosial kita anggap pokoknya asal viral. Tapi sering kita lupa, bahwa di hadapan Allah SWT perkara yang biasa bisa jadi terhitung pidana atau perdata tuntutan dosanya.

Diantara pertanyaan-pertanyaan retorika yang telah terunggah di lini massa akun medsos saya, sangat mungkin ada kelirunya. Juga dalam penyampain pengajian terutama pertanyaan kritik dan berakibat ada yang merasa terusik. Disitu saya merasa sikap wirai dalam menjalani bulan suci, masih perlu penyempurnaan mutu kelayakan. Saya harus belajar lagi cara tulus ikhtiar wirai supaya bisa mencapai taqwa di dunia maya. Setidaknya di sisa hari Ramadhan ini.

Sembari menjalani iktikaf dan khataman tadarusan, saya berusaha yaqin saja bahwa ALLAH sebaik-baik perencana. Persoalan kejadian dinamika dunia, pastinya Allah Yang Maha Kuasa dengan perangkat kode semesta bekerja lewat mekanisme ilahiahNYA. Mau jadi apa bangsa kita, saya Bismillaahi tawakkaltu ‘alallah saja. What will be, we’ll see que sera-sera.

Pada akhirnya saya merasa masih belum sepenuhnya mendapatkan pencapaian Ramadhan. Ternyata taqwa yang menjadi tujuan puasa, perlu extravaganza perjuangan raihannya. Taqwa yang terdiri dari empat huruf seolah mudah secara jumlah. Nyatanya singkat tapi berat. Sedikit namun sulit.

Maka demi menjaga prestasi taqwa di tepi Ramadhan ini, saya tak berani bertanya-tanya lagi bagaimana prediksi negeri ini atau kepo sok-sokan menanyakan urusan kesalahan wong liyan. Cukuplah saya memikirkan jawaban dari pertanyaan Abi sebagai refleksi pribadi dan muhasabah dzurriyah. Selanjutnya setelah mendapatkan jawaban harus dibuktikan dalam peramalan yang diterima Allah SWT dan bersyafaat dunia akhirat.

“Dapat apa sampeyan setelah puasa Ramadhan? Sudah bisa taqwa atau latah hanya cerita jurnal medsosan, jadwal maghriban, bekal sahuran, modal pakaian, dan tanggal lebaran?”(*)

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.