
SURABAYA (Lenteratoday) - Konflik Sudan yang berujung perang telah melumpuhkan jantung ekonomi negara di ibu kota Khartoum, mengganggu rute perdagangan internal, mengancam impor, dan memicu krisis uang tunai.
Di seluruh ibu kota, pabrik, bank, dan toko telah dijarah atau dirusak. Pasokan listrik dan air mati, serta penduduk melaporkan kenaikan harga yang tajam dan kekurangan barang-barang kebutuhan pokok.
Beberapa pasar besar telah dihancurkan, kata Saddam Siddig Bashasha, yang menjalankan bisnis energi surya dan generator di Khartoum. "Pasar yang dibakar ini mendukung pekerja dan petani miskin. Ribuan dari mereka kehilangan pekerjaan, yang akan membuat kondisi menjadi sangat sulit," katanya dilansir dari tempo.co, Jumat (5/5/2023).
Suara pemboman dan tembakan terdengar di Khartoum dan kota-kota yang berdekatan di Omdurman dan Bahri pada hari Kamis yang melanggar perjanjian gencatan senjata tujuh hari terbaru. Tentara berusaha mendorong RSF dari posisi di sekitar istana presiden dan markas militer.
"Sejak kemarin malam, dan pagi ini, ada serangan udara dan suara bentrokan," kata Al-Sadiq Ahmed, seorang insinyur berusia 49 tahun yang berbicara dari Khartoum.
"Kami mengalami teror permanen karena pertempuran terjadi di sekitar pusat lingkungan perumahan. Kami tidak tahu kapan mimpi buruk ini dan ketakutan akan berakhir."
Kepala bantuan PBB Martin Griffiths mengatakan akan mengadakan pertemuan tatap muka dengan kedua belah pihak dalam dua atau tiga hari untuk mendapatkan jaminan dari mereka untuk konvoi bantuan.
Program Pangan Dunia (WFP) pada hari Kamis memperkirakan bahwa makanan senilai $13 juta hingga $14 juta yang diperuntukkan bagi orang-orang yang membutuhkan di Sudan sejauh ini telah dijarah.
Sekitar 100.000 orang telah mengungsi dari Sudan dengan sedikit makanan atau air ke negara tetangga, kata PBB.
Korban sipil telah diperburuk oleh penggunaan senjata berat oleh pihak yang bertikai termasuk tank, artileri, roket dan serangan udara di pemukiman warga, kata Human Rights Watch pada hari Kamis, menuduh mereka mengabaikan kehidupan sipil secara sembrono.
Pertarungan tersebut diakibatkan oleh perebutan kekuasaan antara dua faksi yang bersaing, tentara dan RSF, yang telah berbagi kekuasaan setelah kudeta pada tahun 2021, menggagalkan upaya untuk mewujudkan demokrasi dan pemerintahan sipil setelah pemberontakan populer tahun 2019 menggulingkan orang kuat Omar al-Bashir. (*)
Sumber : tempo.co/REUTERS | Editor : Lutfiyu Handi