
JAKARTA (Lenteratoday) – Rencana pemerintah untuk menghentikan ekspor timah pada akhir 2022 mendapat respon Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Menurut Kadin, wacana tersebut perlu dilakukan secara bertahap.
"Dalam melakukan hilirisasi, pelaku usaha membutuhkan persiapan yang matang dan modal yang cukup. Artinya pelaku usaha memerlukan waktu kurang lebih 10 tahun jika ingin hilirisasi yang optimal," ujar Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Peningkatan Kualitas Manusia, Ristek, dan Inovasi Kadin Indonesia Carmelita Hartoto dalam keterangan resminya, Kamis (22/9).
Saat ini, Indonesia telah menjadi eksportir logam timah terbesar di dunia. Pada tahun 2020 ekspor logam timah Indonesia sebesar 65 ribu ton dan terjadi peningkatan di tahun 2021 yaitu menjadi 74 ribu ton. Sementara penyerapan dalam negeri sekitar 5 persen dari produksi logam timah nasional.
Carmelita menambahkan, dalam 10 tahun terakhir, memang terjadi peningkatan transaksi perdagangan logam timah domestik dari 900 ton menjadi 3.500 ton. Namun, jumlahnya masih tergolong kecil dan belum dapat menyerap seluruh produksi logam timah nasional.
"Persoalannya, penyerapan logam timah untuk kebutuhan domestik masih sangat kecil. Hal ini memperlihatkan kesenjangan antara industri hulu dengan hilir. Industri hulu timah berkembang pesat, sebaliknya hilir belum," ujar Carmelita.
Carmelita berharap agar pemerintah terus menggenjot infrastruktur hilirisasi sehingga hilirisasi sumber daya alam (SDA) secara bertahap bisa dilakukan.
Selain itu, pemerintah juga diharapkan bisa memberikan sejumlah insentif seperti pembebasan pajak dan mempermudah perizinan operasi bagi perusahaan luar dan dalam negeri.
"Persiapan infrastruktur dan insentif dinilai dapat menarik investor, serta menjamin kedua mineral tersebut terserap pasar domestik."
Sementara itu, Ketua Komite Tetap Mineral dan Batu Bara Kadin Indonesia Arya Rizqi Darsono menegaskan pihaknya mendukung pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang dapat membantu pelaku usaha melakukan hilirisasi timah agar berdampak bagi peningkatan pendapatan negara.
"Timah dapat menjadi senjata di Indonesia karena volume ingot timah yang melimpah ruah di Indonesia. Maka dari itu, hilirisasi timah harus dilakukan secara optimal. Jika hilirisasi ini terpecah, akan merugikan Indonesia," kata dia.
Senada, Wakil Ketua Komite Tetap Mineral dan Batu Bara Jabin Sufianto mengatakan bursa timah harus dioptimalkan terlebih dahulu sebelum memulai hilirisasi ini.
"Dengan banyaknya volume ingot di Indonesia, hal ini dapat dijadikan bargaining power untuk Indonesia. Maka dari itu, dalam mengolah timah, jangan diurai ke bawah menjadi produk retail karena pasarnya sedikit," ucap Jabin.
Diketahui, berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, jumlah sumber daya dan cadangan timah di Indonesia pada tahun 2018 berjumlah 2 juta ton kasiterit.
Sementara, pada tahun 2020, meningkat berjumlah 2,76 juta ton kasiterit dan 2,72 ton kasiterit. Cadangan timah Indonesia diestimasikan akan habis pada 2046.
Sumber : CNN | Editor : Endang Pergiwati