
Denpasar (Lenteratoday) - Anggota DPD RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Bali Dr Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna MWS III turut merespon masih sulitnya para Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk menjadi Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Hal itu disebabkan, dalam registrasi penerimaan anggota TNI, tidak tersedia kolom identitas bagi penghayat kepercayaan.
Sulitnya penghayat kepercayaan menjadi Anggota TNI, beberapa waktu lalu terungkap dalam acara diskusi yang diselenggarakan Setara Institute dan dipandu oleh Peneliti Setara, Syera Anggreini Buntara.
Setelah itu, media Gesuri melalui jurnalis nya Hiski Darmayana, turut menindaklanjuti fakta yang terungkap dalam diskusi tersebut dengan mewartakan tanggapan para tokoh yang berkomitmen memperjuangkan hak-hak warga penghayat kepercayaan.
Pemberitaan Gesuri itu pun, dipublikasikan lagi oleh akun IG Bangkitnya Kepercayaan Adat, yang akhirnya direspon oleh Senator Arya Wedakarna.
Arya Wedakarna pun turun tangan dengan mengirim usulan resmi ke Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa terkait hak dari umat Agama Lokal Nusantara atau Penghayat Kepercayaan.
"Seleksi Prajurit TNI dan Polri mulai tahun 2022 ini diharapkan mengakomodir aspirasi jutaan penghayat di Nusantara," ujar Arya.
Arya Wedakarna, sebagai bagian dari Anggota Komite I Bidang Hukum, Pertahanan dan Keamanan DPD-RI B.65 Provinsi Bali merekomendasikan kepada Panglima TNI, untuk dapat memberikan perhatian dan menindaklanjuti terkait hal tersebut. Caranya, dengan memberikan kesempatan bagi Penghayat Kepercayaan masuk menjadi anggota TNI.
Arya menegaskan hal itu penting dilakukan, dalam rangka memberikan pengayoman dan perlindungan sesuai peraturan perundang-undangan.
"Khususnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XVI/2016, yang pada pokoknya memperbolehkan Penghayat Kepercayaan mencantumkan identitas Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa," ujar Arya, yang juga Sekretaris Jenderal Gerakan Pemuda Marhaenis itu.
Masih sulitnya warga Penghayat Kepercayaan menjadi Anggota TNI, diungkapkan Ketua Presidium I Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), Engkus Ruswana dalam acara diskusi yang diselenggarakan Setara Institute, belum lama ini.
Engkus mengungkapkan, kesulitan penghayat kepercayaan masuk TNI masih terjadi ditengah banyaknya kemajuan dalam hal pemenuhan hak-hak Penghayat Kepercayaan oleh negara, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2017 yang memperbolehkan penghayat mencantumkan identitas Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di KTP.
Engkus juga mengungkapkan kesulitan yang dialami masyarakat penghayat itu, menyebabkan beberapa warga penghayat mengubah kepercayaan nya dengan agama yang 'diakui' negara di KTP dan KK nya, agar bisa diterima masuk TNI.
"Hal itu terjadi misalnya di Sumatera Utara dan Sulawesi Barat. Ada warga penghayat yang mengubah kepercayaan nya dengan agama yang diakui negara, hanya untuk bisa masuk seleksi anggota TNI," ungkap Engkus.
Media Gesuri pun menindaklanjuti pernyataan Engkus tersebut, dengan memberitakan dukungan para tokoh nasionalis terhadap hak warga Penghayat untuk menjadi Anggota TNI.
Salah satu tokoh itu adalah Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, MY Esti Wijayati.
MY Esti menegaskan, Indonesia adalah negara yang mendasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai sila pertama dalam Pancasila, kemudian diperkuat dengan UUD 1945 pada Pasal 29 ayat (1) menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa", dan Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya".
"Maka tidak seharusnya terjadi penolakan warga negara sebagai anggota TNI hanya karena tidak adanya kolom identitas bagi penghayat kepercayaan dalam persyaratan," tegas MY Esti.
Direktur Institut Sarinah Eva Sundari juga turut menyatakan sikapnya melalui Gesuri. Dia menegaskan TNI seharusnya tunduk kepada hukum konstitusi, khususnya pasal 29 UUD 1945.
"Pasal 29 UUD 1945 menjamin bahwa kepercayaan diakui keberadaannya oleh negara, dan keputusan MK menguatkannya," tegas Eva.
"Maka, TNI tidak boleh melakukan diskriminasi kepada warga berbasis agama," tambah alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) itu.
Reporter : Ashar,rls | Editor : Endang Pergiwati