Haul Masyayikh XIII KH Abdul Ghoni dan Dzurriyah, Sejarah PP Tahsinul Akhlaq Bahrul Ulum dan Pola Pendidikan yang Tepat

SURABAYA (Lenteratoday) - Peringatan Haul Masyayikh XIII KH Abdul Ghoni dan Dzurriyah digelar di Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq Bahrul Ulum, Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari Kota Surabaya, pada Jumat (11/3/2022) malam tadi. Haul ini dihadiri oleh sejumlah ulama besar, di antaranya KH Mashduqi, KH Miftahul Akhyar, KH Ali Masyhuri, Habib Achmad Idrus Habsi serta ratusan para santri atau murid dan walimurid ini .
Kegiatan yang rutin diadakan tiap tahun ini digelar untuk mengenang wafatnya KH Abdul Ghoni dan Dzurriyah. Dikisahkan oleh KH Fadhlullah Abdul Ghoni, yang merupakan putra bungsu dari 13 anak dari KH Abdul Ghoni, bagaimana KH Abdul Ghoni mendidik putra putrinya, hingga menjadi ulama yang berpengaruh di masyarakat. Putra-putri KH Abdul Ghoni itu, di antaranya KH Mashduqi, yang kini menjadi penerus KH Abdul Ghoni, KH Badlowi, Bu Nyai Zahro, istri dari KH Idris, serta KH Miftahul Akhyar, yang kini menjadi Rais Aam PBNU.
KH Fadhlullah juga menekankan pentingnya mendidik anak dengan hati yang tulus, agar menjadi orang yang berpendidikan dan bermanfaat di tengah masyarakat. Ia juga mengingatkan agar lebih cermat dalam memberikan pendidikan agama Islam, karena adanya sejumlah lembaga pendidikan Islam yang memiliki aliran yang beragam, seperti wahabi dan syiah. “Jika salah memilih pondok pesantren, setelah lulus bukan lagi ketentraman yang didapat, tetapi permusuhan dan pertengkaran yang didapatkan,” paparnya.
Terkait sejarah berdirinya pondok pesantren ini, diungkapkan Ustadzah Hasmiyah, bahwa di tahun 1949, KH Abdul Ghoni mengajarkan agama Islam dengan cara berkeliling dari kampung ke kampung. Hingga lama kemudian, di tahun 1970, Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq Bahrul Ulum ini mulai berdiri di Kelurahan Rangkah ini.
“Saat awal berdakwah dari kampung ke kampung itu, santri hanya berjumlah antara 10 hingga 50 orang saja. Namun kini sudah mencapai sekitar 300 orang untuk santri putrinya, sementara santri putra pun berjumlah sekitar 300 orang,” ujarnya.
Para santri maupun santriwati yang belajar di situ tidak hanya terbatas dari daerah Kota Surabaya. “Di tahun 1980an, santri juga banyak yang berasal dari daerah lain seperti Jakarta, Yogya, serta Lombok,” tambahnya.
Kini pondok pesantren ini telah makin berkembang dengan jumlah santri total sekitar 600 orang. Para santri ini pun datang tak hanya dari Pulau Jawa namun juga dari berbagai penjuru nusantara.
Berkembangnya Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq Bahrul Ulum ini menepis anggapan orang bahwa kawasan Rangkah Tambaksari ini sebagai “daerah hitam” yang dihuni oleh kelompok masyarakat yang disebut “sampah masyarakat”. Terbukti, di sini, terdapat pondok pesantren yang aktif dengan kegiatan dan kebiasaan hidup para santri dan ulama terkemuka yang kemudian menjadi panutan masyarakat sekitar.
Sayangnya, masa pandemi covid juga memukul kehidupan di pondok pesantren ini. Ratusan santri sempat terpaksa pulang untuk sementara waktu. Kendati demikian, pendidikan dan syiar agama terus dijalankan oleh para pengasuh kepada para santri. Hingga kini, para santri telah kembali dapat meneruskan pendidikan di pondok pesantren ini, meski masih ada banyak kendala yang harus dihadapi, di antaranya terkait pembiayaan pendidikan para santri di pondok tersebut.
Terkait kendala ini, pihak pengasuh pondok pesantren membuka donasi bagi warga dari manapun yang ingin turut andil dalam meningkatkan pendidikan dan syiar agama di pondok pesantren ini dapat langsung menghubungi para pengasuh maupun pemilik Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq Bahrul Ulum ini.
Reporter : Rahmad Suryadi | Editor : Endang Pergiwati