
SURABAYA (Lenteratoday) - CEO Facebook Inc, Mark Zuckerberg telah mengumumkan pergantian nama perusahaan Facebook menjadi Meta pada Kamis (28/10/2021). Menurut pakar ilmu komputer dengan kajian riset Social Media Network Dr. Aryo Nugroho, MT, dari Universitas Narotama, langkah ini sebagai strategi agar nama produk tidak sama dengan nama perusahaan.
“Jadi perubahan nama itu bukan pada Facebook sebagai produk media sosial. Namun pada nama perusahaan Facebook Incorporate,” tutur Aryo Nugroho yang juga seorang konsultan jaringan sosial media, melalui sambungan telepon, Jumat (29/10) malam.
Facebook Incorporate yang menaungi aplikasi media sosial Facebook, Instagram, dan WhatsApp, memang memilih mengganti nama perusahaan menjadi Meta Platform Incorporate. Hal ini dilakukan untuk menghindari kebingungan dan kecanggungan karena memiliki nama perusahaan yang sama dengan nama produknya.
Menurut pandangan Aryo, perubahan nama perusahaan ini tentu tidak bisa dikaitkan dengan citra media sosial Facebook yang dituding oleh sebagian kalangan sebagai ruang bebas orang untuk menyebarkan berita hoax maupun ujaran kebencian.
“Tudingan bahwa Facebook menjadi ruang orang menyebarkan hoax maupun ujaran kebencian adalah bentuk dari gegar budaya masyarakat saat ini. Perlu disadari, bukan hanya di ruang Facebook, orang saling menyebarkan kabar hoax dan ujaran kebencian, namun di ruang media sosial yang lain juga demikian, seperti twitter dan whatsapp,” ungkap Aryo.

Aryo mengingatkan, justru yang perlu dikhawatirkan oleh masyarakat kita adalah pihak tertentu membuat konten hoax serta ujaran kebencian itu. “Jadi facebook itu ibarat sebuah arena, dan dan pengguna facebook inilah orang yang bermain di arena itu. Orang – orang inilah yang melakukan penyebaran itu, bukan arena Facebook. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian kita untuk bisa diantisipasi,” terang Aryo.
Aryo lantas mencontohkan sebuah kasus dimana ada kelompok masyarakat yang meminta kepada Kominfo untuk menutup game Mobile Legend, dengan alasan anaknya melupakan kewajiban belajar.
“Ini terjadi karena orang masih tidak bisa melihat game Mobile Legend bisa menjadi industri yang menguntungkan. Berbeda dengan di Jepang. Mereka malah memiliki game house, dan dari sanalah muncul anime serta aneka game yang kemudian menjadi salah satu industri masa kini,” katanya lagi.
Kini pihak pemerintah Indonesia memberi dukungan penuh pada pecinta game Indonesia untuk menciptakan game yang juga memuat konteks budaya Indonesia, selain dari berbagai upaya pemerintah menjadikan e-sport sebagai aktivitas yang positif.
Aryo juga mengatakan, seharusnya pihak Kominfo bisa mengambil beberapa kebijakan agar dapat mengantisipasi penyalahgunaan media sosial. Misalnya, menetapkan aturan pada portal pengguna media sosial seperti Whatsapp dan Facebook agar pendaftaran akun menggunakan NIK, agar tidak ada lagi akun palsu atau abal abal.
“Dengan begitu, orang yang menyalahgunakan media sosial untuk mengadu domba atau menyebarkan ujaran kebencian dan kabar hoax, akan mudah terdeteksi dan bisa dituntut pertanggungjawaban,” katanya.
UU ITE yang bertujuan untuk membendung penyalahgunaan media sosial ini memang masih memiliki kekurangan. Pada beberapa kasus, pembuat konten yang dianggap meresahkan ternyata lolos dari jeratan hukum, dan yang dijerat hanya pihak yang menyebarkan.
Saat ini, Aryo melihat pihak pemerintah dan lembaga hukum masih berupaya memperbaiki kekurangan tersebut. Ia pun mengakui bahwa UU ITE memang berupaya keras untuk mencegah dan memberi sanksi pada para pelaku penyebar hoax maupun penyebar ujaran kebencian.(*)
Reporter : Endang Pergiwati
Editor :Widyawati