20 April 2025

Get In Touch

Unik, Limbah Kotoran Manusia Dimanfaatkan Jadi Biogas

Salah satu pengelola sedang menyalakan kompor dari pemanfaatan biogas. Foto : M. Iqbal.
Salah satu pengelola sedang menyalakan kompor dari pemanfaatan biogas. Foto : M. Iqbal.

SEMARANG (Lenteratoday) - Pemanfaatan kotoran hewan dan sampah yang diolah menjadi biogas mungkin sudah terdengar umum di telinga masyarakat. Namun berbeda dengan pemanfaatan limbah kotoran manusia yang diolah menjadi biogas.

Ya, pemanfaatan biogas dari limbah kotoran manusia itu ada di Kota Semarang. Tepatnya, di Kampung Bustaman, RT 05 RW 03, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang.

Konon, biogas ini awal dibangun tahun 2005, namun peresmiannya baru pada 6 Juni 2006. Sampai saat ini biogas tersebut masih dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk memasak sehari-hari, atau saat hajatan.

"Biogas di sini ini dari limbah manusia, yang diolah dan disalurkan melalui biogester. Sebelum adanya gas melon, masyarakat sini banyak yang menggunakan biogas ini, untuk masak air, dan lainnya. Saat ada orang hajatan atau nikahan pernah masaknya memakai biogas ini. Terus semenjak ada konservasi gas dari pemerintah, akhirnya masyarakat sini mayoritas memakai gas melon itu," terang Ketua RW 03 Kampung Bustaman, Ashar, Kamis (21/10/2021).

Meskipun begitu, imbuhnya, biogas di Kampung Bustaman masih tetap dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan warga. "Biasanya kalau pengurus ada rapat, biogas ini dimanfaatkan untuk masak air, yang digunakan membuat kopi dan keperluan lainnya," paparnya.

Ia mengatakan letak biogas yang berdekatan dengan pemukiman warga, disiplin perawatan adalah hal yang utama. Tujuannya untuk menjaga area biogas tetap bersih dan tidak bau.

"Kami selalu menjaga kebersihannya, biogas ini kan memang letaknya dekat MCK dan pemukiman, jadi kami harus bisa untuk menjaga kebersihannya supaya tidak bau yang bisa mengganggu warga beraktivitas," terangnya.

Ia menyebut dulu sebelum adanya MCK umum yang ada di dekat biogas, Kampung Bustaman dijuluki PAK KUMIS (Padat Kumuh dan Miskin).

"Karena memang, dulu anak-anak kecil kalau buang air kecil dan besar itu di selokan-selokan depan. Sedangkan kalau bapak-bapak atau ibu-ibu buang air besarnya di pinggir Sungai Semarang, tiap malam itu," tuturnya.

Namun semenjak adanya MCK dan pemanfaatan biogas, perilaku masyarakat bisa berubah dengan perilaku hidup sehat. "Dulu masyarakat juga banyak yang terkena diare, tetapi sekarang sudah tidak, karena kesadaran mereka akan hidup sehat mulai tumbuh," jelasnya.

Ia menambahkan masyarakat yang menggunakan MCK umum tersebut, dikenai biaya Rp 700 untuk sekali pakai. Kemudian untuk penggunaan biogas Rp 500, tergantung lama penggunaan.

"Kami tidak mencari untung, uang dari warga tersebut nantinya juga akan kembali ke warga. Misalnya kalau ada orang meninggal, dari uang itu kami santuni anggota keluarga yang ditinggalkan. Kemudian untuk orang sakit, terus pengelola yang pensiun kita kasih penghargaan semua. Uang itu juga untuk kegiatan-kegiatan besar seperti kerja bakti, acara agustusan, maulid dan lainnya," jelasnya.

Reporter : M Iqbal

Editor : Endang Pergiwati

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.