
MALANG (Lenteratoday) - Kekerasan terhadap pekerja perempuan baru-baru ini ramai dibicarakan di sosial media. Christina Ramauli Simatupang (28) perawat yang bekerja di Rumah Sakit Sriwijaya, Palembang, mengalami penganiayaan oleh keluarga pasien, Kamis (15/4/2021) lalu. Padahal Christina hanya menjalankan tugasnya sebagai perawat.
Tren kasus kekerasan terhadap perempuan kian meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan data Catatan Tahunan (catahu) Komnas Perempuan tahun lalu, kekerasan terhadap perempuan sejak pandemi terus meningkat hingga menyentuh angka 431.471 kasus, diantaranya 14.179 kasus ditangani oleh 239 lembaga mitra pelayanan yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Data ini hanya berdasarkan pada kasus kekerasan yang dilaporkan pada Komnas Perempuan.
Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara Malang mengamini tren meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan sejak pandemi. Saat dihubungi Lenteratoday.com pada Senin (19/4/2021) Ina Irawati, salah satu konselor WCC Dian Mutiara menjelaskan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan memang sedang meningkat. Dalam catatannya, terhitung ada 120 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke WCC Dian Mutiara.
Ina menjelaskan, kekerasan terhadap perempuan ini bukan hal biasa, ada banyak faktor yang mempengaruhi sehingga kekerasan bisa terjadi. Salah satunya, yakni kultur patriarkis yang masih kental di tengah masyarakat kita.
“Kultur patriarkis kita inilah yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan terus ada,” jelasnya. Ketimpangan kekuasaan disinyalir sering jadi faktor penyebab kekerasan. Misal, karyawan dengan bos, junior dengan senior, orang tua dengan anak, dan seterusnya.
“Relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban juga jadi penyebab kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi,” lanjut Ina.
Banyak kasus kekerasan terhadap perempuan ia jumpai, dan lumayan pelik untuk menyelesaikannya. Selain karena perlindungan hukum yang tumpul, tantangan terbesar yang ia hadapi selaku konselor adalah bagaimana menghadapi korban kekerasan. “Pasti ada implikasi berupa trauma pasca mengalami kekerasan,” tuturnya pada Lentera. Trauma yang ditimbulkan akibat kekerasan tak hanya pada fisik semata, trauma mental juga tak lepas dari akibat kekerasan.
Ada banyak upaya pencegahan untuk memusnahkan kekerasan terhadap perempuan. Dengan memberi pendidikan pada diri sendiri, terhadap perempuan dan masyarakat secara umum, apa itu kesetaraan gender, harusnya bisa dilakukan untuk menghindarkan diri dari melakukan kekerasan terhadap perempuan.
“Sebenarnya kalau memberikan pendidikan tentang apa itu kesetaraan sudah kita lakukan sejak dulu ya, dan itu melalui berbagai media seperti sosmed salah satunya,” terang Ina. Mendapatkan pendidikan adalah keistimewaan tersendiri, akan tetapi mendidik diri sendiri agar menjadi masyarakat adil gender-lah yang susah diraih. (ree)