19 April 2025

Get In Touch

Alternatif Harga Kedelai Melonjak, Warga Blitar Buat Tempe Lamtoro

Nurlia sedang membungkus tempe lamtoro di rumahnya, sebagai alternatif ketika kedelai mahal
Nurlia sedang membungkus tempe lamtoro di rumahnya, sebagai alternatif ketika kedelai mahal

BLITAR (Lenteratoday) - Melonjaknya harga kedelai import saat pandemi Covid-19, dari harga normal sekitar Rp 6.000 menjadi Rp 9.000 - 10.000 per kg. Berpengaruh besar terhadap produsen tempe dan tahu, mulai dari memperkecil ukuran hingga menaikkan harga jual. Bahkan tidak sedikit yang memilih tidak produksi, sampai harganya normal kembali.

Namun disaat harga kedelai meroket, ternyata ada alternatif bahan baku pengganti kedelai untuk membuat tempe yaitu lamtoro (petai cina). Seperti yang dilakukan Nurlia (65) warga Kelurahan Kedungbunder, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, yang sudah belasan tahun memproduksi tempe dari bahan dasar lamtoro. "Sejak awal saya sengaja memilih bahan lamtoro, karena lebih murah dibanding kedelai," tutur Nurlia.

Selain harganya lebih murah dibanding kedelai, Nurlia juga mengaku ingin mencari pangsa pasar yang berbeda dari tempe kedelai. Karena tempe kedelai sudah banyak yang buat, tapi kalau tempe lamtoro belum ada. "Karena proses pembuatannya lebih lama dari tempe kedelai, maka tidak ada yang mau membuat (tempe lamtoro)," jelasnya.

Mengenai kandungan gizinya, tempe lamtoro juga tidak kalah dibandingkan dengan tempe kedelai. Lamtoro dapat digunakan sebagai detoksifikasi, untuk membuang racun dalam tubuh. "Selain itu, lamtoro juga memiliki khasiat dapat meningkatkan kekebalan tubuh, sehingga cocok dikonsumsi saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini," tandas Nurlia.

Sehingga saat harga kedelai mahal seperti sekarang, menjadi berkah bagi Nurlia. Karena dagangannya laris manis, serta menjadi pilihan ketika tempe kedelai hilang di pasaran.

Ibu empat anak ini mengungkapkan kalau sudah membuat tempe lamtoro sejak 2005 laku. Seminggu sekali memproduksi dan hasilnya dijual tiap Minggu pagi di Pasar Lodoyo. Dalam sekali produksi Nurlia bisa menghabiskan 20-30 kilogram lamtoro. "Seminggu sekali produksinya, karena tempe lamtoro awet dan tahan lama," ungkapnya.

Tempe lamtoro usai dikemas
Tempe lamtoro usai dikemas

Proses pembuatan tempe lamtoro membutuhkan waktu kurang lebih 4-5 hari, mulai dari mencuci bahan baku, terdiri dari lamtoro, jagung, dan parutan kelapa. Dikukus, kemudian dicampur dan dikemas, dalam kantong plastik serta dibiarkan terfermentasi sempurna dalam 2 hari.

Waktu yang lama, ternyata tidak membuat harga tempe lamtoro ini mahal. Tempe yang dalamnya berwarna kecoklatan ini dikemas dalam kantong plastik berukuran 1/2 kg, namun hanya diisi separuhnya dan dibentuk tipis. Untuk satu bungkusnya, tempe lamtoro ini dijual Rp 1.000 dan pedagang eceran dijual lagi Rp 1.500 per bungkusnya. "Hasilnya cukup untuk biaya hidup, sisanya ditabung untuk naik haji," beber Nurlia.

Soal rasa, tempe petai cina memiliki pengemar tersendiri. Bahkan tidak sedikit yang memesan, karena kehabisan tempe yang rasanya lebih gurih dibanding tempe kedelai. Selain pengunjung Pasar Lodoyo, para penjual sayur keliling juga banyak yang membeli tempe petai cina produksinya untuk dijual kembali. Sekali datang ke pasar, Nurlia bisa mendapat hasil penjualan antara Rp 300.000 - Rp 450.000. "Tidak pasti, kalau rame bisa sampai Rp 450.000, tergantung berapa banyak tempe yang bisa saya bawa," paparnya.

Ditanya mengenai pasokan bahan baku petai cina, Nurlia mengaku ada pemasok yang rutin datang mengirim ke rumahnya. "Kiriman biji lamtoro dari para petani, per karung 25 kg harganya Rp 30.000. jauh lebih murah dibanding kedelai," pungkasnya.(ais)

Share:
Lentera.co.
Lentera.co.